Nikel baru-baru ini namanya naik daun dan menjadi primadona, lantaran digadang-gadang bisa menjadi sumber daya alam yang membantu dunia mewujudkan energi bersih. Berbondong-bondong, semua melakukan hilirisasi industri nikel, demi mendapatkan nilai tambah dan keuntungan.
Untuk yang kebagian mengurusi pemberian nilai tambah pada produk nikel, diserahkan kepada negara. Terutama lewat Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan juga BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dikelolanya. Karena nikel merupakan kekayaan alam yang ada di Bumi Pertiwi dan menyangkut hajat hidup orang banyak, maka berdasarkan undang-undang, hal tersebut diserahkan perurusannya kepada negara.
Namun, mulai timbul sikap skeptis dalam masyarakat kepada Kementerian ESDM yang mengatur urusan soal kekayaan alam ini. Pasalnya masyarakat menilai bahwa keuntungan yang dipaparkan tidak sesuai dengan manfaat yang didapatkan. Apalagi keuntungan nikel dipaparkan dengan capaian nilai fantastis oleh pemerintah.
Indonesia adalah surganya nikel, setidaknya begitu yang dikatakan dunia kepada Negeri Tercinta. Hal ini juga dibuktikan dengan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019 yang termuat dalam Booklet Tambang Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2020.
Diketahui, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/ kadar rendah). Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton nikel. Ternyata, hampir setengah pasokan nikel dunia ada di Indonesia.
Maka wajar saja, jika "harta karun" ini diperebutkan banyak negara-negara di dunia. Bahkan berkat menjadi primadona, keuntungan Indonesia dari sektor nikel melonjak drastis dan mendongkrak perekonomian negara. Terlebih sejak Indonesia memutuskan kebijakan program hilirisasi dan larangan eskpor nikel guna mendukungnya.
Terkait larangan ekspor, Presiden Jokowi baru-baru ini memaparkan keuntungan daru kebijakan yang ia buat. Orang nomor 1 di Indonesia tersebut mengatakan bahwa ekspor komoditas nikel melonjak usai hilirisasi, dari yang tadinya Rp15 triliun kala yang dieskpor masih bentuk mentah, menjadi Rp360 triliun saat sudah diolah.
Tak hanya dari nilai ekspor, keuntungan hilirisasi juga bisa terlihat dari capaian realisasi investasi yang disampaikan Kementerian Investasi/BKPM. Pada September 2022, realisasi investasi mencapai Rp892,4T dengan industri logam industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mendominasi di peringkat 1. Selain itu ada juga sektor pertambangan di peringkat 3.
Namun, meskipun hilirisasi nikel mencatatkan nilai fantastis, masyarakat masih belum merasakan manfaat dari keuntungan tersebut. Ingat, keuntungan dari hilirisasi bukan semata meroketnya angka-angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga pertumbuhan ekonomi namun juga perlu melihat ke lapangan; masih banyak infrastruktur penting seperti jalan raya di kawasan sekitar industri yang belum terbangun oleh pemerintah.
Atau jangan-jangan, masyarakat salah menerka capaian triliunan rupiah di investasi dan ekspor langsung mengalir ke masyarakat. Pasalnya, setelah diulik, pemerintah kurang tepat menghitung keuntungan hilirisasi hanya berdasarkan nilai ekspor produk turunan. Terlebih dengan meniadakan ekspor barang mentah, ternyata ada sejumlah dana yang malah hilang dari kas negara.