Kontroversi kasus bisnis tes PCR yang melibatkan sejumlah nama pejabat negara semakin menjadi sorotan publik. Bahkan saat ini publik diketahui telah memperoleh nama-nama menteri jajaran kabinet presiden Jokowi yang diduga ikut serta dalam permainan bisnis tes PCR.
Deretan nama menteri yang disebut-sebut terlibat bisnis tes PCR tersebut diantaranya seperti Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Berkaitan dengan keterlibatan pejabat negara dalam bisnis PCR tersebut, salah satu politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Refrizal membuka suaranya.
Refrizal memberikan tamparan keras dalam cuitan akun Twitter pribadi miliknya, @refrizalskb kepada para menteri yang juga merangkap sebagai pengusaha di tengah masyarakat yang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19. Keuntungan besar yang didapatkan para pejabat dalam permainan bisnis PCR tersebut pun juga ikut jadi sorotan oleh Refrizal dalam cuitan di akun Twitternya.
Teganya KAU sebagai Menteri BERBISNIS PCR pada RAKYAT yg lagi KESULITAN.
Pantas KAU Tambah KAYA ditengah BADAI PENDEMI COVID-19?
MUNDURLAH..!!!
Bila KAU masih ada ETIKA.
Apakah SETUJU?
Silahkan Like & RT--- refrizalskb (@refrizalskb) November 2, 2021
Sementara, senator asal Riau Edwin Pratama Putra menyoroti tajam pergunjingan hangat soal perkulakan tes usap PCR dengan beberapa perubahan kebijakan tarif PCR. Dirinya juga berpendapat bahwa kebijakan penurunan harga tes usap tersebut memang menjadi kabar baik bagi masyarakat, tapi juga sekaligus mengejutkan publik!
Bukan tanpa alasan, banyaknya laba yang didapatkan oleh pihak-pihak dalam bisnis PCR saat harganya masih mencapai PCR Rp900 ribu-Rp1,5 juta.
Seperti yang diketahui, Edwin mengatakan ketika harga PCR Rp500 ribu saja, keuntungan yang didapat bisa 150%. Padahal seperti kami yang di Riau saja harus selalu PCR bila keluar masuk provinsi lain atau ke Jawa atau provinsi lain, tentunya ini menjadi pertanyaan besar dan membingungkan.
Edwin juga ikut menanggapi pemberitaan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari bisnis PCR yang mewajibkan rakyat tersebut.
Kasus ini sudah masuk ke dalam kategori trading influence. Di mana diduga ada kolaborasi antara pembuat kebijakan dengan si pemburu rente.