Lihat ke Halaman Asli

Nikolas Mauladitiantoro

hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Ada Kepentingan Bisnis Penguasa di Balik Mahalnya Harga Tes PCR

Diperbarui: 3 November 2021   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tes PCR. Sumber foto: Tempo.co

Baru saja Presiden Jokowi memerintah penurunkan harga tes RT-PCR paling tinggi menjadi Rp300 ribuan, muncul kebijakan baru yang membingungkan masyarakat yaitu kebijakan pemberlakuan bukti negatif swab test RT-PCR di semua moda transportasi. Luhut kemudian menyebutkan bahwa syarat tersebut dibuat guna mencegah penularan akibat mobilitas tinggi di saat libur Nataru. 

Kebijakan ini menuai ragam komentar, termasuk salah satunya dari Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi yang menyoroti bahwa kebijakan ini diskriminatif dan menambah beban konsumen.

Ada juga Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono  yang menilai pemerintah terlalu terburu-buru dengan kebijakan tes PCR yang disahkan sebulan sebelum libur natal.

Uniknya, kedua tokoh tersebut merasa kebijakan ini penuh keganjilan dan lainnya mengutarakan, "Aturan yang berlaku saat ini melegalkan kartel bisnis PCR,"

Ternyata bukan tanpa alasan publik mulai curiga dengan penyelengggaraan tes usap RT-PCR. Diketahui penyedia jasa swab test RT-PCR sampai sekarang didominasi oleh pihak swasta. Beragam perusahaan-perusahaan laboratorium penguji tes PCR ternama Bumame, GSI, Intibios menguasai bisnis ini.

Mengapa negara tidak menjadi penyelenggara utama atas semua penanggulangan penyebaran Covid-19Covid-19 ini adalah masalah nasional bahkan masalah dunia (pandemi).

Tidak hanya tes usap RT-PCR yang menjadi garapan pihak swasta, mesin-mesin penunjangnya pun masih mengimpor dari luar. Biasanya para pebisnis tes PCR akan bekerja sama dengan importir-importir, misalnya dari China. Mesinnya sendiri dibanderol seharga Rp400 juta. Hal-hal inilah yang kerap dijadikan alasan mengapa harga tes PCR menjadi mahal.

Selain itu ada media penyimpanan spesimen lendir hidung dan tenggorokan dari pasien yaitu viral transport medium atau VTM juga didapat dari importir. Padahal, jika penyedia fasilitas tes usap RT-PCR membeli reagen seharga Rp60 ribu hingga  Rp1,5 miliar, mereka bisa mendapatkan pendapatan kotor Rp12,4 miliar per 25 ribu orang yang PCR bertarif Rp475 ribu.

Hingga akhirnya, ICW berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat akan angka pasti dari keuntungan bisnis PCR. Wana Alamsyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch menaksir keuntungan-keuntungan bisnis PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun dan belum dihitung keuntungan yang didapat importir, "Keuntungan fantastis," tutur Wana.

Setelah terkuak bahwa ada triliunan rupiah dari keuntungan bisnis PCR sontak membuat masyarakat gaduh dan merasa kesal. Pasalnya, itu berarti selama ini ada pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai cara untuk meraih keuntungan dan memperkaya diri. Dan melihat pemerintah sempat lama diam mengenai mahalnya harga tes PCR, mungkinkah ada keterlibatan dari oknum-oknum pejabat negara? Semoga saja tidak benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline