Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar sebuah berita dimana ada seseorang yang "katanya" mempermalukan gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan. "Wah, berani sekali. Siapa sebenarnya orang ini?" pikir saya waktu itu. Setelah saya mencari tentang beritanya, sosoknya ternyata bukan orang yang biasa saja. Ia adalah salah seorang pianis terhebat yang diakui dunia, Ananda Sukarlan. Diberitakan bahwa beliau melakukan aksi Walkout ketika Bapak Anies sedang berpidato dalam rangka ulang tahun SMA Kolese Kanisius Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Usut punya usut, ternyata beliau melakukan WO(Walkout) bukan tanpa alasan, melainkan karena beliau tidak setuju dengan isi pidato yang disampaikan Bapak Anies, yang ia rasa tidak sesuai dengan nilai-nilai Kanisian (sebutan untuk ajaran yang diberikan oleh St. Petrus Kanisius, seorang Santo dalam agama kristiani, dan juga seorang Jesuit). Ia menilai bahwa ajakan Bapak Anies untuk "membangun Jakarta" tidak dicerminkan oleh tindakan yang dilakukan Anies sendiri, seperti membuka trotoar untuk kendaraan bermotor.
Tetapi, apakah benar tidakan WO yang dilakukan oleh Ananda? Menurut kamus politik, Walkout sendiri adalah tindakan inisiatif untuk meninggalkan ruangan dikarenakan ketidaksetujuan atas isi dari hal yang sedang dibahas, atau dalam kata lain sebagai bentuk protes. Namun apakah aksi yang dilakukan beliau ini benar atau salah?
Dalam sudut pandang saya, tindakan WO boleh saja dilakukan, dengan kondisi dimana keadaan di dalam ruang sudah amat sangat tidak sesuai dengan konteks dan tujuan utama acara.
Ananda sendiri adalah seorang yang Pro-Ahok. Bahkan ia sempat menciptakan sebuah lagu yang didasari atas keprihatinannya terhadap kondisi Ahok. Ananda mengatakan bahwa ia melakukan WO karena merasa bahwa Anies sudah memenangkan pemilihan gubernur dengan cara yang tidak sesuai dengan Kanisian.
Sebenarnya, dengan alasan yang seperti itu, Ananda tetap disarankan untuk tidak melakukan aksi WO, karena itu adalah masa lalu dimana terjadi ketegangan di kedua kubu, antar masalah agama dan ras, dan tidak perlu dibawa-bawa sampai dengan WO. Apa salahnya kalau kita hanya duduk, walaupun tidak mendengarkan secara penuh, tetapi tetap hadir dalam acara tersebut. Dengan cara itu, kita sudah menghormati Anies sebagai Gubernur, bukan sebagai Calon Gubernur.
Anies sendiri sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan aksi WO yang dilakukan oleh Ananda terhadap pidato yang ia berikan. Ia tidak memberikan komplain yang berarti terhadap masalah ini, sehingga seharusnya tidak sampai berbuntut panjang.
Dari kasus ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, aksi WO boleh saja dilakukan, namun dengan kondisi dan alasan yang tepat, bukan karena masalah eksternal. Bagaimana menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H