Lihat ke Halaman Asli

Nikodemus Yudho Sulistyo

Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Politik adalah "Perfectly Imperfect"

Diperbarui: 23 Agustus 2024   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240821153138-37-565213/viral-peringatan-darurat-garuda-biru-banjiri-medsos-ini-maknanya

Beberapa hari terakhir, media arus utama termasuk juga media sosial menampilkan unggahan poster "Peringatan Darurat" berupa gambar Garuda dengan latar belakang biru. Diketahui bahwa gerakan ini adalah bentuk dari perlawanan publik terhadap keputusan Badab Legislatif DPR.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Berita ini muncul setelah Baleg DPR (Badan Legislasi DPR) mengesahkan RUU Pilkada (Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah) yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. RUU Pilkada tersebut dinilai tidak sepenuhnya mengakomodasi putusan MK, terutama soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di Pasal 7. Baleg DPR memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) yang berbeda dengan putusan MK, dimana MK adalah badan yang dianggap lebih tinggi dibanding MA.

Perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang mempunyai kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. Kondisi ini membuat publik merasa tidak puas dan mengunggah poster "Peringatan Darurat". Sumber

Selain itu, secara etika politik dan falsafah kebangsaan, ditengarai bahwa DPR hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri demi syahwat kekuasaan kelompok. Tidak sedikit yang menyangkut-pautkan Presiden Jokowi dan kekuasaannya terlibat dalam skenario ini. Jokowi dan kroni-kroninya dituduh mengatur sistem politik Indonesia sedemikian rupa untuk memenangkan keinginannya, termasuk memperkuat posisi partai-partai pendukung dan sanak saudara sebagai bagian dari kekuasaan yang 'gendut' tersebut.

Publik menunjukkan perlawanan dengan mengunggah poster "Peringatan Darurat" tersebut yang mirip dengan sistem peringatan kedaruratan nasional Amerika. Poster ini digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan Baleg DPR.

Partisipasi masyarakat ini dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa dan aktivis, melainkan musisi, sutradara, dan komedian juga mengunggah poster senada di akun media sosial mereka.

Memang masyarakat perlu mengawal proses demokrasi dengan berperan serta secara aktif dan merespon dengan cara tertentu, termasuk turun ke jalan atau bersuara di media sosial, sebagai sarana media modern yang mudah, gratis dan juga efektif.

Hanya saja, masyarakat juga dituntut harus cerdas dalam berpartisipasi di dalam gerakan sosial dan politik ini. Ada yang tulus untuk kepentingan bangsa, tetapi tidak bisa dipungkiri ada juga yang menggunakan gerakan ini untuk kepentingannya sendiri.

Ada tuduhan bahwa penolakan terhadap pengesahan RUU Pilkada itu didorong oleh kepentingan partai dan tokoh tertentu yang 'kalah' di dalam kontestasi presidensial sebelumnya. Tuduhan ini menganggap bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu ini untuk menggerakkan masyarakat dalam 'menyerang' penguasa, yaitu Presiden Jokowi, dan 'antek-anteknya', dalam hal ini partai pendukung serta pemerintahan selanjutnya dimana anak kandungnya sendiri, yaitu Gibran, adalah wakil presiden resmi periode berikutnya. Tuduhan lainnya, adalah bahwa mereka yang terlibat di dalam gerakan ini hanyalah terbawa tren, atau yang disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out: ketakutan kehilangan momen, atau sederhananya, ikut-ikutan tren yang sedang terjadi saat ini). Sumber

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline