Ada banyak hal menarik di kontestasi Pemilu tahun ini. Selain memiliki lebih dari dua pasang capres dan cawapres, banyak fenomena politik yang seru untuk dibahas dan diperbincangkan. Namun, yang menjadi perhatian saya secara pribadi adalah event debat antara capres dan cawapres yang selalu menyisakan banyak hal menarik bahkan fenomenal. Setiap sesi debat selesai, internet terutama media sosial selalu dipenuhi dengan beragam komentar dan perdebatan lainnya. Uniknya, perdebatan tersebut tidak hanya membahas dari sisi isi atau tema, melainkan juga masuk ke ranah tata cara, perilaku dan etika para kontestan debat.
Hal menarik yang saya, dan banyak warga negara Indonesia, perhatikan adalah munculnya Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu cawapres. Sosok Gibran sebagai anak kandung Presiden Jokowi yang diusung Gerindra dan koalisinya sejak awal sudah menimbulkan polemik. Ada banyak yang mempertanyakan permasalahan konstitusional serta, lagi-lagi, etika.
Begitu juga ketika perdebatan terakhir antar cawapres, Gibran melakukan sebuah tindakan di atas panggung debat yang bagi beberapa orang dianggap berlebihan, tidak etis, dan bahkan melanggar aturan debat.
Saat itu, Gibran sedang memberikan pertanyaan kepada cawapres Mahfud MD, tetapi kemudian respon dari Gibran adalah dengan menambahkan sebuah gestur tertentu. Gestur yang digunakan Gibran inilah yang menjadi sorotan. Tidak hanya ramai di media sosial seperti X (yang dahulu adalah Twitter), tetapi juga beragam media, termasuk media asing.
Dilansir dari Kompas (Sumber), media asing ikut menyoroti gestur Gibran tersebut. Media Singapura, Channel News Asia menyoroti sikap Gibran yang dinilai kasar selama debat berlangsung. Gibran menunjukkan gestur merunduk dan berpura-pura mencari barang yang hilang ketika merespon jawaban cawapres Mahfud MD. Ia juga mengatakan, "Saya mencari jawaban Prof Mahfud. Saya sedang mencari, kok saya tidak menemukan jawabannya?". Hal ini juga dianggap tidak lebih dari gimik belaka.
Media Nikkei Asia dan South China Morning Post juga mengkritisi Gibran karena dianggap sengaja menggunakan istilah tidak umum agar terlihat cerdas, serta menggunakan pertanyaan tipuan yang menjebak.
Oleh sebab itu, isu etika menjadi semakin mengemuka karena selain gestur, dalam mempersiapkan dan memberikan pertanyaan kepada lawannya, Gibran cenderung diangga merendahkan dan kurang menghormati.
Dari sudut pandang lain yang bertentangan, saya melihat bahwa tidak sedikit pihak yang mendukung bahkan mengapresiasi tindakan Gibran ini. Gibran dianggap mampu 'mengimbangi' para cawapres lain yang lebih senior dan terutama cawapres Mahfud MD yang memili titel Profesor di depannya. Gesturnya yang dianggap kurang hormat dan tidak bertatakrama itu malah seakan menunjukkan semangat orang muda. Di luar, Gibran dikenal sebagai sosok yang sopan dan beratatakrama, tetapi di atas panggung debat, ia menjadi buas karena semua sosok dianggap sama dan merata, yaitu cawapres. Maka, persoalan etika kembali harus dipertanyakan karena panggung tersebut adalah panggung debat dimana setiap orang memang harus 'menyerang', mengkritisi, dan bahkan mengalahkan argumentasi lawan.
Tidak hanya itu, bagi mereka yang membela Gibran menjelaskan bahwa kritik terhadap Gibran dirasa tidak adil. Pertama, hanya karena Gibran lebih muda, perihal etika menjadi isu. Padahal, sebelumnya, capres Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo juga dianggap tidak memiliki etika ketika bersama-sama 'menyerang' capres Prabowo Subianto.
Etika pada dasarnya merujuk pada cabang ilmu filsafat yang membahas tentang konsep benar dan salah (Sumber). John Rawls dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice, menjelaskan bahwa harus ada keseimbangan antara hak-hak individu seperti kebebasan, dengan prinsip atau hukum bersama di dalam kehidupan masyarakat. Ini maksudnya adalah bahwa setiap manusia pasti terikat dengan aturan-aturan dimana ia hidup. Inilah yang disebut etika.