Charles T. Call, seperti halnya para filsuf seperti Paul Tillich dan David L. Coppola, mengajukan ide bahwa perdamaian bukanlah sebuah situasi dengan ketiadaan perang, konflik atau kekerasan, melainkan sebuah konsep positif dan dinamis yang dibangun dari kerjasama dan rasa saling mengerti. Meskipun begitu, perdamaian adalah sebuah social goal atau tujuan bersama yang digunakan untuk mempromosikan ketiadaan perang, konflik dan kekerasan tersebut dan menciptakan sebuah kondisi untuk mencegah konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa depan (Call & de Coning, 2017).
Perdamaian adalah sebuah force yang aktif dan dinamis. Maka komitmen individu dan kelompok sangat diperlukan untuk memberikan kekuatan dalam tujuan merespon segala jenis konflik. Komitmen untuk mencapai perdamaian memerlukan pelbagai tindakan, terutama ketika menghadapi tantangan. Rasa saling mengerti dan memahami dari individu kepada komunitas, dari komunitas ke masyarakat, dari masyarat ke negara dan bangsa, serta dari satu negara ke negara lain adalah landasan dasarnya (Carter & Kumar, 2010). Dan ini telah terjadi dari masa purba sampai sekarang serta akan terus berlanjut.
Indonesia adalah sebuah negara majemuk dengan latar belakang budaya dan politik yang kompleks. Untuk mencapai perdamaian dalam suatu kompleksitas tersebut, diperlukan pendekatan multi-segi dengan memperhatikan tantangan-tantangan unik dan khusus dari negeri ini. Dalam skala global, Indonesia telah berkonstribusi dalam aksi peacekeeping PBB sejak tahun 1957, bahkan tidak lama setelah kemerdekaannya (Alexandra, 2017). Ini merupakan sebuah pencapaian dan prestasi bangsa ini dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Namun begitu, sepertinya tantangan yang dihadapi Indonesia adalah untuk memahami perdamaian dalam konteks yang meliputi peacekeeping, peacemaking dan peacebuilding. Peacebuilding atau pembangunan perdamaian di Indonesia lebih dipahami dalam konteks yang lebih luas. Dibandingkan sebagai usaha-usaha langsung untuk mencegah konflik di masa depan, peacebuilding diinterpretasikan sebagai berbagai macam aktifitas atau tindakan dalam sebuah manajemen konflik, serupa dengan peacekeeping.
Peacemaking dilakukan sebagai upaya diplomatik untuk mengakhiri kekerasan dan konflik diantara pihak yang bertikai. Lebih jauh, menurut Murray dan Lacey (Murray & Lacey, 2009), peacemaking dapat didefinisikan sebagai sebagai proses identifikasi untuk mendukung struktur yang akan memperkuat perdamaian di masyarakat. Dalam prosesnya, peacemaking memerlukan usaha menyeimbangkan kepentingan-kepentingan antar kelompok yang berbeda, membangun insfrastruktur dan lembaga perwakilan, termasuk diplomasi dan bantuan ekonomi.
Sebagai hasilnya, Indonesia dapat menerapkan beberapa gagasan untuk menciptakan perdamaian di dalam negeri, yang tentu saja melibatkan unsur-unsur peacekeeping, peacebuilding dan peacemaking sehingga perdamaian menjadi sebuah kekuatan yang dinamis dan aktif.
Pertama, Indonesia tidak menerapkan kebijakan demokrasi dengan konsep "one-size-fits-all", dimana memang setiap negara memiliki konteks dan latar belakangnya sendiri. Kesadaran akan hal ini dapat menjadi kunci pembangunan perdamaian yang sukses. Konsep "Bhineka Tunggal Ika" yang merupakan semboyan bangsa Indonesia yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu jua", sudah merefleksikan pentingnya toleransi dan rasa hormat terhadap perbedaan. Pancasila sebagai dasar negara telah sedari awal merumuskan karakter bangsa yang sopan, santun, bertatakrama dan penuh rasa hormat. Konflik yang terjadi sudah sewajarnya diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat yang lagi-lagi mengedepankan komunikasi serta rasa saling pengertian.
Kedua, bangsa Indonesia yang telah menjadikan seni dan budaya sebagai denyut nadi mereka, dapat menggunakannya untuk mempromosikan toleransi, meminimalisir konflik dan bahkan membasmi kejahatan terorisme. Ini pada akhirnya juga membawa bangsa untuk meningkatkan hubungan kohesif antar suku bangsa dan umat beragama. Konsep bahwa seni dan budaya dapat menjaga dan membangun perdamaian, sejatinya selaras dengan gambaran Branagan (2024) yang melihat bahwa seni dan budaya memiliki potensi besar untuk menciptakan masyarakat yang menikmati perdamaian yang positif dan berkesinambungan. Seni dan budaya dapat pula mempromosikan pemahaman, empati, dan rasa hormat terhadap perbedaan (Jeong, 2021).
Bagi bangsa Indonesia yang sangat kaya akan seni dan budaya, mempertahankan, menjaga dan membangun perdamaian antar individu dan kelompok yang berbeda-beda sudah menjadi sebuah keniscayaan. KH Adurrahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur, mantan presiden Republik Indonesia yang keempat, dalam sebuah dialog bersama Daisaku Ikeda, seorang filsuf Buddha asal Jepang, menjelaskan bahwa sebuah dialog dapat memberikan wajah kemanusiaan tanpa memandang etnis, perbedaan budaya atau latar belakang sejarah. Dialog juga dapat membuka jalan bagi promosi nilai-nilai kebersamaan dan komitmen terhadap budaya perdamaian serta harmoni global. Hal ini adalah sesuatu yang kita ketahui di Indonesia dari pengalaman pribadi (Wahid & Ikeda, 2009).
Beberapa mungkin menuduh bahwa keberagaman dan perbedaan itu sendiri merupakan sumber dari konflik dan permasalahan. Namun, seni dan budaya yang kental sebagai bagian dari nafas kehidupan bangsa, juga memiliki ciri yang sama dengan perdamaian itu sendiri, yaitu dinamis dan berproses. Seperti dijelaskan sebelumnya, perdamaian bukanlah ketiadaan konflik, sebaliknya merupakan cara untuk menemukan kesepahaman, komunikasi yang baik dan pengertian antar individu dan kelompok melalui proses peacekeeping, peacebuilding, dan peacemaking yang berkesinambungan dan dinamis.