Lihat ke Halaman Asli

Nikodemus Yudho Sulistyo

Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Cinta Laura dan Konstruksi Sosial, Menikah karena Terpaksa atau Tidak Menikah Karena Terpaksa Pula?

Diperbarui: 9 September 2022   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keputusan menikah ataupun tidak harusnya sama-sama didasarkan pada keputusan matang dan bijak, bukannya bentuk dari keterpaksaan dan pembenaran semat (thoughtco.com)

Cinta Laura adalah salah seorang sosok yang sejak lama telah menjadi fenomena. Salah satu cirinya sejak dahulu adalah gambaran fisiknya yang indo karena memiliki orang tua yang merupakan campuran Jerman dan Indonesia. Ia juga dikenal memiliki kecenderungannya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan fasih.

Namanya kembali terdengar dan ramai diperbincangkan di beragam media. Kali ini ia mendapatkan banyak sanjungan dan pujian karena mewakili pola pikir perempuan yang cerdas, modern, terbuka dan independen (apalagi ia didapuk menjadi duta perwakilan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak).

Dalam salah satu wawancara di podcast milik Deddy Corbuzier, Cinta menjelaskan bahwa ia beranggapan bahwa pernikahan seseorang, terutama perempuan, pada usia di angka tertentu yang ditentukan oleh masyarakat sebenarnya adalah konstruksi sosial. Banyak orang yang memutuskan untuk menikah karena merasa pernikahan adalah sebuah kewajiban, padahal menurutnya, semua itu adalah pilihan yang ditentukan oleh masyarakat belaka, dan ia memutuskan untuk memiliki pilihan yang berbeda.

Konstruksi sosial adalah sebuah konsep yang diciptakan oleh manusia. Manusia yang telah saling berinteraksi dan membentuk peradaban kemudian memutuskan beragam jenis aturan, norma, serta nilai-nilai tertentu yang kelak dianggap terjadi secara alamiah serta menjadi sebuah kewajiban.

Hal-hal tersebut bisa berupa konsep apa saja, dari pekerjaan, pernikahan dan keluarga, budaya dan bangsa atau negara, uang dan ekonomi, bahkan mungkin sampai kepercayaan dan spiritualisme. Sumber

Manusia menciptakan makna berdasarkan kesepakatan. Itu gampangnya.

Maka, yang Cinta Laura sampaikan sebenarnya adalah, bahwa menikah pada usia tertentu, terutama bagi seorang perempuan, bukanlah sesuatu yang wajib apalagi alami. Itu semua sekadar konstruksi sosial yang merupakan pilihan sebuah kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan penjelasan ini, memilih untuk menikah atau tidak menikah juga sebenarnya adalah sebuah pilihan.

Stigma dan konsep masyarakat mengenai perempuan yang tidak atau belum menikah memang cenderung negatif di beragam kelompok masyarakat, budaya bahkan bangsa. Ada istilah perawan tua, perempuan yang tidak laku, atau dituduh sebagai seorang perempuan dengan kecenderungan penyuka sesama jenis.

Cinta Laura menunjukkan bahwa pilihannya untuk menikah di usia berapapun, atau sama sekali tidak menikah, adalah pilihannya sendiri. Sama seperti para perempuan yang menikah karena merupakan pilihan masyarakat (konstruksi sosial). Jadilah Cinta Laura sebagai seorang tokoh yang dipuji karena pernyataan berdasarkan pemikirannya tersebut.

Cinta Laura, sekali lagi, menjadi perwakilan pemikiran para perempuan Indonesia yang selama ini sudah terlalu gerah dengan konstruksi sosial dalam konsep pernikahan dimana mereka selalu saja ditanyai tentang pernikahan di pesta pernikahan saudara atau teman, di acara kekeluargaan atau perkumpulan yang bersidat sosial lainnya. Para perempuan telah jengah dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menuntut, memaksa, dan mencemooh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline