Lihat ke Halaman Asli

Nikodemus Yudho Sulistyo

Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Korupsi, Etika Pancasila, dan Lampu Lalu Lintas

Diperbarui: 2 September 2022   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pancasila(DOK KOMPAS/HANDINING)

Selama bertahun-tahun, bangsa Indonesa telah bergulat dengan permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Tidak hanya permasalah ekonomi negara yang terus-menerus terpuruk sehingga pembangunan pun menjadi terhambat, tetapi juga dari segi moralitas dan nilai-nilai yang selama ini kita anut.

Terlalu banyak suara yang berpendapat bahwa akar dari korupsi adalah birokrasi struktural serta permasalahan kultural. Padahal bangsa ini sudah sedari awal memberikan jawaban atas salah satu permasalahan besar bangsa ini: Pancasila.

Pancasila tidak pernah gagal sebagai ideologi bangsa Indonesia, kitalah yang gagal menerapkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, permasalahan korupsi ini sejatinya dimulai dari persimpangan jalan dan lampu lalu-lintas.

Lantas apa hubungannya, korupsi, Pancasila dan lampu lalu-lintas?

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi didefinisikan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum yang "merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi," (Setiadi, 2018, p. 249).

Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa korupsi bukanlah sebuah masalah yang main-main. Korupsi dilakukan secara struktural dan terencana, melibatkan kekuasaan dan pengaruhnya.

Masyarakat menilai bahwa karakter bangsa dapat dilihat dari kualitas hukum dan kredibilitas pemimpinnya. Logika yang berjalan adalah bahwa jika semakin banyak produk hukum dibuat, malah makin mempertegas anggapan bahwa tindak korupsi makin besar dan meluas, sekali lagi ini diarahkan pada para aparatur negara, pejabat dan pemimpin bangsa yang melakukan tindak korupsi itu sendiri dikarenakan mereka memiliki kekuasaan (Soemanto, Sudarto, & Sudarsana, 2014, p. 81).

Di dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Khair (Khair, 2014) mengenai pandangan masyarakat warga RT. 05 Keluaran Tanah Grogot, Kabupaten Paser terhadap pemberitaan mengenai kasus korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia melalui televisi, 85% warga berpendapat bahwa penahanan yang dilakukan kepada pelaku tindak korupsi sangat tidak sesuai dengan kerugian terhadap keuangan negara yang jumlahnya sangat besar.

Warga masyarakat RT. 05 juga sadar dan paham benar bahwasanya para pelaku korupsi adalah mereka yang duduk di lingkaran kekuasaan, seperti politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, atau menteri dan artis dalam konteks pilkada.

Hal tersebut di atas semakin menunjukkan kesan yang kuat bahwa korupsi memang hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan berada dalam struktur kelas atas dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah artis atau pengusaha. Masyarakat biasa hanyalah korban dari perilaku budaya korupsi yang sudah terjadi lama dan mendarah daging dalam diri bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline