Lihat ke Halaman Asli

Nikodemus Yudho Sulistyo

Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Metonimia, Denotasi, dan Konotasi Bahasa dalam Kehidupan Sosial [Sebuah Kajian Semantis Gejala Bahasa Sederhana]

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Suatu hari hari pergi ke sebuah supermarket untuk membeli deodoran. Ketika bertemu dengan pelayan toko, terjadilah sebuah percakapan berikut ini:

Pelayan: “Cari apa ya?” [perlu diketahui, berhubung si pelayan adalah seorang gadis Tionghoa Pontianak, pada umumnya memiliki aksen bahasa Indonesia/melayu khas, dengan campuran gaya bahasa tinghoa]

Saya: “Saya mau cari deodoran ce.” [Cece adalah sebutan untuk kakak atau setara dengan mbak dalam bahasa Jawa]

Pelayan: “Hah?”

Saya: [berasumsi bahwa si pelayan tidak dapat mendengar perkataan saya dengan baik, maka saya ulangi kembali] “Saya mau cari deodoran ce, dimana ya?” [saya bertanya karena saya berpikir bahwa memang deodoran dan beragam produk kosmetik berada di counter kosmetik yang dilayani oleh si cece pelayan toko ini]

Pelayan: “Hah?”

Saya: [Saya akhirnya mulai paham bahwa si pelayan tidak mengerti apa itu deodoran, bukannya tidak dapat mendengar saya dengan baik. Saya putuskan untuk menggunakan cara komunikasi berbeda lainnya] “Ada Rexona?”

Pelayan: [Akhirnya ia mengangguk] “Ia memberikan sebuah produk deodoran dengan merk Casablanca!]

Saya: “Bukan ce, saya mau beli Rexona, bukan ini.”

Pelayan: [kemudian si pelayan baru memberikan sebuah produk deodoran prima bermerk Rexona] “Boleh?” [maksudnya adalah “benar yang ini bukan, jadi dibeli?”]

Saya: “Iya, saya ambil deh” [maksudnya, “ya, saya beli”]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline