Lihat ke Halaman Asli

Budaya Antri Menyehatkan Bangsa

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Niko Azhari Hidayat, Utrecht, The Netherlands. 29 Agustus 2014.

Bagi manusia budaya antri sudah lama dikenal dipelajari sejak lama sekali, bahkan diriwayatkan sejak jaman purba, memang dahulu kala bila tidak mau mengantri pasti akan beradu tongkat atau batu. Ditahun 1969, seorang peneliti dari Harvard University, bernama Leon Mann, menuliskan artikel berjudul "Queue Culture : The Waiting Line as a Social System". Diringkaskan bahwa sebagai instrument Sistem Sosial Masyarakat, Budaya mengantri seharusnya diterapkan oleh para pelakunya, secara seimbang dengan baik. Ada beberapa prinsip utama dalam melaksanakan budaya antri, bahwa harus berdisiplin patuh kepada nilai kegiatan tersebut, pada setiap pelayanan di Indonesia saat ini antri menggunakan berbagai sarana, dari yang paling sederhana sampai dengan yang terkini.

Kejadian tumpukan antrian yang padat, yang aktual adalah bahan bakar kendaraan akhir-akhir ini, mengembalikan fungsi antri sebagai refleksi dari kematangan berbudaya masing-masing person, tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan orang tersebut. Bahkan teorinya dapat menjadi, semakin tinggi tingkat pendidikan, oleh karena berada pada lingkungan dan karakter egaliter yang modern, prinsip persamaan harus dijunjung, siapa datang terlebih dahulu yang akan mendapat pelayanan dahulu. Akan menjadi masalah jika, salah seorang baik dalam background pendidikan rendah maupun tinggi, punya uang pas maupun bisa membayar lebih, namun melakukan kudeta terhadap budaya mengantri demi pelayanan yang proporsional, tentunya akan tercipta bentuk reaksi berupa protes, teriakan bahkan hujatan.

Mungkin indonesia perlu belajar dengan negara asing, dimana mungkin perbedaan selain karakter dasar, juga Law enforcement yang begitu ditegakkan, semakin memiliki rasa malu melanggar aturan, semakin tinggilah budaya bangsa tersebut, sebaliknya semakin tidak punya malu bahkan kontraproduktif, semakin rendahnya budaya bangsa tersebut.

Peran pemerintah agaknya harus sentral dalam hal ini, bukan hal yang sepele bila berkait dengan harkat dan martabat bangsa. Satu misal, menunggu bis umum, kita dihalte terbiasa longok- melongok tulisan jurusan diplat Bis kita, atau nomer kode arah jurusan kita, dan itu sangat tidak informatif bagi klien pengguna bis, kita dibiasakan untuk menunggu, menanti dan meresah. Apa bedanya dengan Bis Umum di negara eropa misalnya Belanda, ada papan elektronik yang menyatakan bahwa bis jurusan A akan tiba 5 menit lagi, tentu tetap dengan kode nomer dan arah jurusan, namun apa, hal tersebut yang kita pahami sebagai "Assurance/Jaminan", kepastian untuk berkegiatan kepastian hidup dan kepastian terpenuhi hak warganya. Implikasi berantai selanjutnya adalah, lebih banyak tepat waktunya ketimbang jam karetnya, lebih disiplinnya budaya menepati janjinya, lebih profesional kerja dan hidupnya, lebih teraturnya tatanan kehidupan masyarakatnya.

Andai Indonesia bisa memulai dengan memantapkan diri dari pihak masyarakat, pemerintah untuk komitemen meningkatkan diri dalam budaya Antri yang memiliki nilai dalam sistem sosial, maka profesionalisme suatu negara ini akan semakin muncul dan menguat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline