Lihat ke Halaman Asli

Nikolaus Loy

Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Soal Laut China Selatan, Indonesia Tak Bisa Lagi Pasifis

Diperbarui: 26 Januari 2024   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Kapal China Liaoning didampingi sejumlah kapal lain berpatroli di Laut China Selatan pada Desember 2016. (Foto: Reuters via kompas.com)

Debat Capres ke-3, 7 Januari 2024, membahas  kebijakan HANKAM, Geopolitik dan Hubungan internasional. Dalam debat ini,  ada pertanyaan tentang bagaimana mereka merespon masalah Laut Cina Selatan (LCS). 

Jawaban dari para capres, pada hemat saya tidak memuaskan. Prabowo menekankan kekuatan pertahanan konvensional. Anis Baswedan mengusung sentralitas ASEAN. Ganjar merencanakan menyediakan tanker untuk memasok logistik angkatan laut.  

LCS adalah sebuah isu yang kompleks. Dari sisi aktor, kawasan ini melibatkan klaim tumpang tindih dari beberapa negara ASEAN, Taiwan  dan Cina. Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunai adalah negara-negara yang memiliki klaim teritorial di LCS.

Cina bilang  seluruh wilayah LCS sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya. Negara ini lalu bikin "nine dash line' (sembilan garis putus-putus yang memasukkan seluruh kawasan LCS. 

Salah satu dasar klaim Cina adalah LCS merupakan 'adjacent water" (perairan dekat) untuk menjadi dasar klaim. Sebuah istilah yang tidak dikenal dalam hukum internasional tentang Laut.

Masuknya AS menambah kompleksitas konflik di  LCS. Salah satu tujuan pembentukan pakta pertahanan dengan Australia dan Inggris adalah untuk merespon sepak terjang Cina di LCS, selain mengantipasi perubahan keseimbangan strategis di kawasan Indo Pasifik. 

Keterlibatan AS memang satu kebutuhan untuk mengimbangi sepak terbang Cina. Tanpa AS, tidak ada kekuatan yang mampu meredam perluasan klaim Cina keluar dari kawasan LCS. Kehadiran AS memastikan LCS tetap menjadi jalur pelayaran damai dan terbuka bagi kapal-kapal dari negara mana pun.

Dari sisi ekonomi, LCS adalah satu urat nadi perekonomian global. Negara-negara Asia Timur, Jepang, Korea Selatan dan ASEAN adalah mesin pertumbuhan ekonomi global. Konflik terbuka di kawasan ini akan mengganggu jalur dagang dan pasokan energi kawasan Asia. Dampaknya bisa sangat buruk pada stabilitas ekonomi global.

Dari segi sumber daya, LCS diduga memiliki kandungan gas alam, minyak dan metana. Kandungan energi yang besar membuat Cina berkeras mengangkangi seluruh perairan di LCS.

 Mesin industri yang berputar cepat dan otot militer yang makin perkasa jelas butuh pelumas, yakni minyak dan gas. Produksi energi dalam negeri Cina  tidak cukup. Potensi minyak dan gas di LCS dapat menjawab kebutuhan energi negara ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline