Dalam debat ke-4 cawapres, Minggu 21 Januari 2024 muncul istilah greenflation. Cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming yang melontarkan istilah ini.
Greenflation/Green inflation atau inflasi hijau berhubungan dengan kenaikan harga-harga produk ramah lingkungan akibat kenaikan harga-harga bahan baku. Faktor lain adalah kenaikan biaya dari berbagai aspek transisi energi itu sendiri.
Transisi yang Kompleks.
Transisi energi bukan hanya menyangkut perubahan jenis energi, seperti perubahan dari energi fosil, ke energi baru dan terbarukan (EBT). Dari batubara dan minyak bumi, ke energi surya, tenaga hidro, biofuel yakni bioetanol, biosolar atau pembangkit geothermal.
Perubahan jenis energi mengharuskan transisi sistem sosio teknis yang menjadi fondasi produksi dan konsumsi energi.
Aspek sosio teknis mencakup (1) regulasi dan rezim pengaturan energi; (2) dukungan politis (3) mekanisme pasar efisien yang menjamin pasokan dan permintaan; (4) Teknologi energi fosil ke teknologi energi terbarukan.; (5) budaya konsumsi dan norma kolektif yang membentuk pilihan jenis energi yang digunakan
Pada aspek regulasi, transisi berhubungan dengan sistem insentif yang mendorong produksi dan konsumsi energi tertentu. Sampai sekarang, UU EBT belum disahkan oleh DPR. Lambannya penetapan mengindikasikan rendahnya dukungan politis terhadap pertumbuhan EBT.
Patut diduga bahwa lobi kelompok kepentingan energi fosil menghambat penetapan UU EBT. Ada kebutuhan untuk mempertahankan subsidi batubara dan pengembalian keuntungan dari 'sunk investment'. Investasi triliunan telah dibenamkan di sektor fosil terutama pembangkit listrik berbasis barubara.
Dalam sektor teknologi, transisi berkaiatan dengan perubahan atau penyesuaian teknologi yang berbasis fosil ke teknolgi EBT.
Perubahan teknologi terjadi pada sisi produksi dan konsumsi. Penutupan pembangkit batubara perlu diganti dengan pembangkit hidro berbasis waduk, mikro hidro atau pembangki geothermal