Kadang-kadang hari menjadi gelap. Dari langit ingatan hujan runtuh begitu saja. Ke dalam rimbunan huruf, ia berteduh. Menunggu terang hari, lalu melempar langkah.
Kadang-kadang hari menjadi air bah. Waduk rasa sabar telah letih menampung rasa berdosa, perkara-perakra tanpa kesimpulan, tanpa chapter pembuka. Titik-titik yang sudah bingung mengakhiri. Hanya pada barisan kalimat, engkau dapat memegang tangannya yang penuh harapan.
Kadang-kadang rasa takut tumbuh seperti kelor subur. Akar-akar trauma telah dipaksa menyelam dalam. Tapi kelam malam membuka luka-luka abadi. Kepala pun jadi ruang pengadilan. Mengadili diri sendiri tanpa vonis terakhir. Hanya dalam paragraf-paragraf singkat ada kolam sentosa, tempat ketakutan dicairkan
Kadang-kadang mulut dipagar rasa enggan. Lalu cinta kandas di ungkap. Begitu banyak yang hendak diujar, tetapi hilang ujaran. Begitu banyak sesak yang hendak dilapangkan, tapi kehilangan lapangan. Hanya pada jari-jari yang menulis larik, engkau dapat mengungkap apa yang tak bisa diungkap.
Kadang-kadang engkau ditinggalkan. diremuk rasa sendiri. Kawan-kawan yang menjadi lawan. saudari yang yang jadi asing. Saudara yang menjadi usang. Hanya dari seluruh pojok kamus dan buku, dapat kau undang abjad, tanda baca, makna-makna dalam, esai-esai singkat. Lalu hatimu tak lagi sepi. Pesta-pesta meriah dalam tenda gagasan yang tak butuh undangan dengan gelar-gelar panjang.
Tulisan adalah hijau hutan tempat pengungsian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H