Lihat ke Halaman Asli

Nikolaus Loy

Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Ekspansi Liberalisme, Kawasan Non-Liberal dan Ukraina

Diperbarui: 8 Maret 2022   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.bbc.com/news/world-europe-28480496

Konflik Rusia-Ukraina berakar dinamika yang lebih luas yakni perluasan imperium liberal ke Timur. Imperium ini yang dimotori AS, UE dan NATO sibuk mendorong adopsi sistem pasar liberal dan perluasan pakta keamanan.

Liberalisasi mengabaikan penguatan lembaga hukum, demokrasi dan pertumbuhan kultur demokrasi. Akibatnya instalasi demokrasi liberal dan ekonomi pasar terjadi dalam 'kebun raya' dengan tanah 'illiberal' warisan Soviet.  Tanah yang dimaksud adalah warisan kultur otoritarian yang masih kuat di Rusia dan beberapa Republik bekas Soviet.

Perang Rusia-Ukraina harus dilihat sebagai kegagalan ekspansi imperium liberal AS dalam meliberalkan Rusia. Fokus pada ekspansi pasar dan keamanan, membuat AS dan Eropa lupa pada transformasi dasar struktur dan kultur politik otokrasi. Perang adalah buah dari kealpaan itu.

Liberalisme tentang Perdamaian

Pemikir liberal klasik seperti Imanuel Kant (1724-1804)  berpendapat bahwa model system politik memiliki hubungan dengan perdamaian dan konflik. Pandangan ini tercermin dalam thesis Kant (1991: 99-108) tentang 'perpetual peace' (perdamaian yang langgeng). 

Bagi Kant,  dunia damai  mengharuskan tiga syarat: bentuk negara konstitusional republic, hak kebangsaan berbasis federasi negara-negara merdeka dan hak kosmopolitanisme universal. Yang terakhir menyangkut penghormatan pada individu bukan karena ia merupakan warga sebuah negara, tetapi karena ia adalah warga dunia. Dengan demikian manusia juga memiliki kewajiban melewati batas-batas wilayah politik negara.

Mengapa harus republik? Jawabannya adalah kontrol warga negara. Dalam republik, penguasa dipilih secara demokratis. Keputusan-keputusan penting tidak bisa dimonopoli penguasa. Tindakan negara terlibat dalam perang misalnya,  tidak bisa diputuskan sendiri oleh penguasa. 

Harus ada konsultasi dengan publik secara langsung atau melalui lembaga perwakilan. Dengan cara ini, warga negara dapat mengontrol penggunaan kekerasan dalam meyelesaikan konflik oleh negara. Negara republic liberal dan  demokratis, bagi Kant, adalah promotor perdamaian.

 Ide tentang 'peace promoter' ini mengalami kebangkitan  tahun 1980-an, yang diwakili tulisan Michael Doyle (1986). Ia bilang bahwa negara-negara liberal berhasil menciptakan perdamaian antar sesama mereka. Setelah PD II, hampir tidak pernah terjadi perang antara demokrasi liberal. Perang hanya terjadi antara negara liberal dan non-liberal atau sesama negara non-liberal.

Thesis yang dikenal sebagai 'democratic peace' menemukan pembenaran dalam beberapa konflik pasca PD II. Perang Vietnam, Perang Korea, Perang Irak Kuwait Invasi AS ke Irak dan Invasi AS ke Afghanistan. Semua konflik ini melibatkan  salah satu atau dua pihak negara otokrasi. Pemerintahan yang dikontrol  oleh satu kekuatan dominan, sebagai individu atau lembaga.

Thesis 'democratic peace' berinduk pada   doktrin uniformitas. Bahwa agar perdamaian dunia menjadi langgeng, dibutuhkan keseragaman sistem politik. Kalau mau damai bentuk pemerintahan harus sama. Perdamaian dunia mensyaratkan adanya sebuah masyarakat internasional di mana negara-negara berideolgi sama dan sistem politik demokratis. Modelnya merujuk pada demokrasi liberal barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline