Lihat ke Halaman Asli

Nikolaus Loy

Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Kapitalisme Kesepian

Diperbarui: 11 Maret 2022   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/10/161801020/

"Membunuh sepi itu dahsyat dan melelahkan. Mereka banyak dan tak habis-habis. Kaubunuh satu sepi, sepuluh sepi datang kemudian.".  Ini adalah kutipan dari deskripsi kumpulan cerpen berjudul USAHA MEMBUNUH SEPI, karya Felix Nesi. Kumpulan ini terbitan 'Pelangi Sastra',  2019.

Banyak orang kesepian. 'Usaha membunuh Sepi', seperti judul antologi Felix, terus dilakukan. Meskipun demikian, kesepian tak pernah mati, malahan menjadi masalah global. Ia cenderung dilupakan. Jauh sebelum corona memperbanyak sepi,  banyak orang sudah kena penyakit sepi di dunia luas dan riuh ini. WHO  bilang bahwa 20-30 %  orang tua menderita kesepian (www.jacobinmag.com/2021). Mereka tinggal di India, Eropa dan Amerika Latin. Tentu saja di Indonesia.  

Apakah teknologi informasi , termasuk medsos, menyebabkan kesepian? Kalau tidak? Lalu apa yang bikin orang merasa tak punya teman di tengah hiruk pikuk hidup manusia?

Medsos dan Kesepian

Apa itu kesepian? Ensiklopedia Britanicca menyebutnya sebagai "perasaan tertekan yang dialami ketika seseorang memiliki persepsi bahwa kualitas dan kuantitas hubungan sosialnya kurang dari yang diharapkan". Sedangkan Butler.et.al (2018) menenggarai kesepian itu sinyal kekurangan  kedekatan, cinta dan rasa aman.

Mengalami 'sepi' itu personal dan subyektif. Berbeda dari orang ke orang. Tak peduli kaya atau miskin. Rasa sepi  bahkan bisa muncul  ketika berada di keramaian. Sering ia bawa 'kembaran' yakni rasa tanpa harapan, hidup tak bermakna, hilang arah dan tak dipedulikan. Depresi adalah salah satu dampak kesepian. Pada titik ekstrim kesepian menjadi penyebab tindakan bunuh diri.

Apakah internet, facebook, twitter, skype atau Instagram menjadi sumber kesepian? Jawabannya ternyata tidak seragam. Pendapat umum percaya bahwa teknologi bikin hati makin sepi. Tidak selalu begitu. Dampaknya cenderung kontradiktori. Di satu pihak,  'connecting people'seperti tagline Nokia, merek hape yang sudah almarhum. Di pihak lain 'disconnecting people'.

Teknologi komunikasi termasuk medsos memberi banyak teman. Pada saat bersamaan, 'membunuh' banyak teman dan membuat orang kesepian. Karna itu, Menkeu Sri Mulyani,  saat Fintech Summit 2021 (11/12), mengkhawatirkan  bahwa 2045 banyak orang kesepian karena tidak bisa 'engage' dalam dunia virtual.

Cerdik pandai menemukan bahwa hubungan  teknologi medsos dan kesepian tak bersifat langsung. Ada prakondisi yang harus dipenuhi. Medsos memperkuat kesepian pada mereka yang memiliki relasi sosial terbatas. Khususnya orang yang memiliki karakter anti-sosial karena berbagai sebab, seperti trauma. Dengan kata lain, medsos merampas teman dari orang yang memang hanya punya sedikit teman.

Teknologi ini menarik lebih dalam orang-orang yang 'tak gaul' ke dalam suaka personal di ruang maya. Dengan kata lain, makin sedikit teman, makin dalam seseorang 'memayakan' pertemanan. Pada mereka yang memiliki relasi sosial yang bagus, medsos memperkuat  pertemanan.

Dampak positif medsos misalnya dibilang oleh William Chopik (2016), psikolog dari Michigan State University. 600 orang dewasa yang ia ditanyai menjawab bahwa medsos bikin 'usaha membunuh sepi' mereka berhasil. Bahkan  kesehatan mereka lebih baik, penyakit kronis dan  gejala depresi juga berkurang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline