Lihat ke Halaman Asli

Nikolaus Loy

Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Kita Siap Vaksin: Tanda Bintang di Pangkal Lengan

Diperbarui: 24 Januari 2021   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Vaksin? Saya ingat suatu pagi di tahun 1975. Kami disuruh turun dari sebuah SD kaki gunung Inerie, di Ngada, pesisir selatan Flores, ke klinik darurat di pantai. Letaknya kira-kiran 3,5 Km.

Hari itu Sabtu, ada tim kesehatan dari kota Kabupaten datang. Kunjungan disesuaikan dengan hari pasar, Sabtu. Sebagai anak kelas 2 SD,  kami diberitahu akan divaksin. Tanpa surat persetujuan orang tua. Tidak tahu vaksin itu apa dan untuk apa? Yang pasti kami senang ke pantai karena lautnya. Mandi bareng di laut itu pengalaman menyenangkan.

Tiba di pasar, seorang mantri kesehatan meminta kami maju satu-satu, lalu lengan kami disuntik. Seperti disengat semut lalu hilang. Selasai vaksin, semua anak laki-laki buka celana lalu terjun ke laut. Tidak lagi ingat 'gigitan' jarum suntik tadi. Tidak ingat juga pusaka kami bergelantungan. Siapa peduli pusaka melihat biru laut Sawu.  

Saya ingat kami harus mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian saya tahu bahwa itu vaksin cacar, mungkin juga ditambah difteri dan polio. Bekasnya masih ada di pangkal lengan kiri dan kanan. Semacam tanda bintang, menang perang perang melawan cacar.

Silang pendapat soal vaksin sekarang harus dihadapkan pada satu realitas: vaksin telah menyelamatkan spesies  manusia. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Tanpa vaksin, para leluhur kita tidak akan selamat dari difteri, polio, cacar, flu spanyol dan pandemik lain. Mereka tidak ada, kita juga tidak lahir  untuk baku tengkar soal vaksin.

Vaksin adalah strategi perang  'alami' menghadapi musuh 'alami' yakni pandemi. Meminjam kata-kata ahli perang Tiongkok, Sun Tzu, vaksin adalah upaya 'borrowing the corpse to save the soul',. Meminjam 'jenazah untuk menyelamatkan jiwa'.

Sekarang kita bisa ganti "borrowing Sinovac to save Indonesia". Yang kita pinjam dua. 1. Uang. 2. Untuk bayar pinjaman lain, yakni 'tubuh virus' yang sedang dilemahkan, untuk menyelamatkan pemuda, anak-anak, bakal anak, cucu dan bakal cucu  yang bisa lahir karena ada generasi yang kebal terhadap pandemi ini. Saya sebut cucu bukan karena sulung saya sudah 21 tahun, usia kawin. Di bawah itu namanya izin kawin. Bukan! Tapi demi keselamatan human enterprise, biar keren begitu.

Efek samping, pasti ada? Paling ringan badan panas. Efek lain bisa diminimalkan dengan memahami cara kerja.  Jangan sampai terjadi, pagi vaksin, soreh anda rangkul-rangku lepas masker. Ya kena corona dan mati kalau begitu. Vaksin, jaga jarak, tetap cuci tangan, hindari kerumunan. 

Sampai kapan? Mungkin 2 atau tiga tahun setelah jadi spesies kita  kebal, pandemi ini kalah tanpa mewariskan 'tanda jasa' jelek seperti di pangkal lengan generasi kami. Ini perang Om, Tante, harus ada usaha bersama. Kerennya harus ada spirit korps dan coordinative action. Saya vaksin, situ tidak mau, lalu bijimana kita bisa menang perang?.

Ketegangan dan silang pendapat soal vaksin saat ini berakar dari tiga hal: Pertama,  ketegangan antara kebebasan individu untuk memilih jenis penyembuhan lain dan kepentingan kesehatan masyarakat. 

Pada aspek pertama menyangkut pertanyaan lama yang pernah muncul ketika program KB. Di bawah orde baru KB 'dipaksakan' sehingga kemudian orang bertanya tubuh ini milik siapa. Tubuh ini bukan teritori negara, kenapa negara mau mengontrol tubuhku. Orde baru bilang KB harus demi kesejahteraan publik melalui kontrol populasi. Jadi tubuh pribadi juga public.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline