Lihat ke Halaman Asli

Nikolaus Loy

Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Malam Pertama

Diperbarui: 20 November 2020   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Joko merapikan ujung kemeja putih yang terlipat ke dalam celana. Diambilnya botol  gel rambut pemberian kawannya buruh migran yang baru pulang dari Korea. Dengan ujung jari berkuku kuning bau tembakau, ia mencolek gel  dan diusapkan pada rambut legamnya. Dari saku belakang celana, ia mencabut sisir kecil hitam.

Dalam cermin, beberapa helai rambut yang tegak kini tunduk pada tarikan sisir,  membentuk permukaan hitam bercahaya. Merapikan rambut dengan Pomade sudah menjadi semacam ritual rutin tiap akan keluar rumah.

Dan sisir hitam itu, semacam jimat yang menyertai ke mana saja pergi. Tanpa sisir itu, langkah keluar rumah rasanya tidaklah mantap. Karena rambutnya selalu berantakan saat helm dilepas. Apalagi ini malam pertama,  Siti pasti bakal datang. Ia harus rapi dan wangi  karena  tak ingin malam pertamanya berantakan. Sambil menyisir, ia membayangkan  Gilang, kawannya yang baru akad nikah siang tadi. "Ini malam pertama Gilang, malam pertamaku juga" batinnya.

"Le..jangan lupa kembang melati dan mawar, itu sudah ibu taruh dalam keranjang. Ia paling suka aroma mawar dan melati segar" kata ibunya. Meski ia telah berusia 30, ibunya masih saja memanggilnya Tole. Joko tak menjawab, tetapi mengikat tali sepatunya lebih erat.

"Jangan lupa minyak wangi. Kamar belakang itu jarang dibuka jadi baunya agak pengap. Kasihlah sedikit minyak wangi di bantal agar bau apak hilang. Siti sangat suka aroma sereh" kata Ibunya lagi sambil mengecilkan nyala kompor gas bertabung tiga kilogram. Joko tak menyahut, ia asyik dengan pikirannya.

"Ini malam pertama, Ibu sedang memasak kopi untukmu. Minumlah barang segelas agar badanmu segar le", Ibu berdehem lalu menyodorkan kopi dalam mug baja warisan bapaknya, seorang pensiunan sersan angkatan darat.  Ada goresan dalam pada Mug.

 Kata almarhum bapak, Mug itu malaikat penyelamat dalam pertempuran di kaki gunung Ramelau, ketika Timor Leste masih bernama Timor-Timur. Saat itu, kata Bapak, peluru gerilyawan merobek ransel dan menyerempet Mug baja itu lalu berbelok mengenai rusuk Bapak. Tanpa Mug jantung Bapak mesti telah ditembus peluru.

 Kopi dalam mug baru setengah diminum.  Joko  berangkat. Ia tak mau terlambat. Bapaknya selalu berpesan,  setialah dalam semua perkara kecil dan kamu akan setia dalam perkara besar. Kata Bapaknya, tepat waktu adalah perkara kecil yang  menuntun pada sukses dalam perkara besar. Apalagi ini soal perempuan, harus pegang janji, on time.

Setelah memarkir sepeda motor, Joko membuka kamar belakang dekat pohon randu. Dirapikannya kasur yang kusut karena kaki-kaki kucing. Bantal-bantal direciki minyak wangi. Bukan beraroma sereh, tapi lebih lembut menguar dari botol parfum tigapuluh mili yang dibelinya dua hari lalu. Entah apa mereknya. Kata penjualnya itu parfum impor.

Dua tangkai mawar merah ditempatkannya dalam gelas berisi air di sudut kamar. Segenggam melati ditaburkannya di bawah jendela. Aroma kamar berubah segar.  "Siti pasti senang" Joko membatin sambil mengibaskan jambulnya yang jatuh menutup matanya.

Malam telah pukul 23.50. Hatinya deg-degan. Dipandangnya bayangan hitam pohon randu yang jatuh di kolam di samping rumah. Angin malam membawa bau bunga randu dari belakang rumah, bercamur aroma mawar dan melati.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline