Dua hari yang lalu adalah hari diperingatinya peristiwa G30SPKI. Peristiwa pemberontakan PKI mengincar perwira tinggi AD Indonesia. Latar belakang peristiwa pemberontakan PKI itu salah satunya datang dari ketidakharmonisan hubungan TNI dan PKI. Tekad PKI adalah menggulingkan pemerintahan Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara berideologi komunis.
Dalam peristiwa itu PKI dengan serangan yang membabi buta berhasil menjalankan aksinya. Berawal dari penculikan hingga berakhir dengan pertumpahan darah. Penyerangan dan penculikan tidak berada pada satu titik saja, titik lain berada di kediaman Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan, Jenderal A.H Nasution. Tak heran peristiwa itu melibatkan tewasnya anak sang jenderal. Melalui tembakan penyerang, peluru berhasil menembus tubuh si kecil yang sedang dalam gendongan bibinya itu.
Sekarang Indonesia kembali diselimuti oleh duka yang mendalam. Kabar duka itu datang dari suporter sepak bola yang menewaskan 130 orang, 20an kritis dan ratusan orang terluka. Kericuhan itu berawal dari ketidakterimaan suporter Arema atas kemenangan Persebaya. Hal ini memang tidak sekali dua kali terjadi, tapi sudah berulang kali.
Puncaknya pada pertandingan Arema dan Persebaya ini yang sudah menelan banyak nyawa. Indonesia kembali dihadapkan dengan ujian keaneragaman didalamnya. Banyak karakteristik rakyatnya yang harus disatukan untuk menghindari perpecahan. Sportivitas dan nilai saling menghargai harusnya sudah menempel pada diri setiap suporter, tapi nyatanya ego masing-masing belum bisa diturunkan, ketidakterimaan atas kekalahan kembali berbuntut panjang.
Suporter memang identik dengan provokasi kecil yang dilayangkan setiap pihak. Namun satu hal yang harus ditekankan untuk tidak meninggikan ego masing-masing yaitu dengan statemen "setiap permainan ataupun pertandingan, kemenangan dan kekalahan itu sudah jelas adanya". Sebagai suporter harus menerima permainan idolanya, bukan sebaliknya yang menimbulkan kericuhan massa.
Saling menghargai nyatanya tidak digunakan dalam aktifitas berpendapat saja. Menghargai atas kemenangan tim lawan juga harus diterapkan oleh setiap suporter. Peristiwa Kanjuruhan memang bukan kesalahan suporter sepenuhnya, namun peristiwa itu bermula dari emosional suporternya.
Tak luput dari kesalahan lain, barisan keamanan juga sudah bertindak keterlaluan. Mereka dengan brutalnya menyemprotkan gas air mata, bukankah itu tindakan yang tidak dipikirkan masak-masak oleh pihak kepolisian? Dalam aksi itu, aparat keamanan juga menjadi dalang tragisnya peristiwa malam itu. Aparat kepolisian dinilai agresif, bar-bar dalam menghadapi massa. Mereka tidak memikirkan dampak besar dari tindakannya.
Akibatnya saja tidak mereka pusingkan apalagi keberadaan anak-anak kecil dibenak mereka, mungkin tidak terlintas keberadaan mereka. Tumbangnya suporter ini menjadi tangisan bagi keluarga mereka. Amat sangat disayangkan, di masa mendatang kebencian dalam dunia sepak bola menerpa keluarga mereka, khususnya bagi orang tua mereka.
Ibu mana yang bisa membayangkan anaknya terinjak-injak oleh ratusan bahkan ribuan massa, belum lagi saat gas air mata dilancarkan oleh aparat kepolisian. Hancur sudah, rasa sakit menghujami tubuh mereka, sesak melingkupi pernapasan mereka. Jangankan berlari melindungi diri, berdiri dengan tegap saja mereka kesusahan, langkah mereka terseok-seok, napas mereka tersengal-sengal.
Tak ada yang menyangka kecintaan mereka pada klub sepak bola itu berakhir kesakitan yang mengantarkan mereka pada perjalanan kedua hidup mereka. Tak disangka pula moment itu adalah moment terakhir dalam hidupnya menyaksikan pertandingan klub kecintaan mereka hingga berujung kematian. Bukan lagi di pangkuan keluarga, mereka kembali pada penciptaNya, tapi diantara kericuhan malam itulah, seleksi alam berjalan.
Amat disayangkan, bila pertandingan yang digadang-gadang berakhir dengan damai, malah menimbulkan kericuhan tragis yang menjadi sorotan seluruh penjuru Indonesia. Dan kini ketragisan peristiwa Kanjuruhan juga berhasil mencuri perhatian orang-orang di luar negara kita.