Lihat ke Halaman Asli

Nikmatul Masruroh

Be Good Woman

Menanti Keseriusan Pemberlakuan UU JPH No. 33 Tahun 2014

Diperbarui: 11 Oktober 2019   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

" Halal nggak ya bakso ini, kok kayaknya meragukan. Pindah saja yuk"

Dialog yang hampir selalu terjadi pada setiap memasuki warung bakso atau warung-warung yang lain. Pada akhirnya berujung membeli tapi dengan perasaan was-was dan berjanji tidak akan membeli lagi, karena faktor penjual yang non muslim, tempat cuci piring yang minimalis (tidak terstandar suci), rasa daging yang meragukan dan sebagainya. 

Tidak berhenti sampai di sini, sering terjadi perdebatan ketika anak-anak membawa jajanan atau makanan tempat saji dengan jenis baru dan tanpa label, bahan baku, BPOM dan sebagainya.

Dari kegelisahan tersebut, bisa ditangkap, bahwa konsumen membutuhkan kepastian dan jaminan akan produk yang dia beli. Khususnya produk-produk makanan dan minuman. Bisnis kuliner semakin meningkat, namun seiring dengan hal itu jaminan kehalalan produk juga diharapkan, dalam rangka menjamin kesehatan dan keberlangsungan hidup para konsumen.

Inovasi produk yang beraneka ragam, membuat sifat konsumtif semakin meningkat. Bukan hanya inovasi produk lokal namun juga produk impor. Membuat kita semakin terlena untuk terus berbelanja. 

Tentu saja, ketertarikan membeli sangat dipengaruhi oleh penampilan dan harga produk yang ditawarkan. Jika makanan dan minuman, maka rasa dan tempat juga menjadi pertimbangan penting dalam membeli barang tersebut.

Labelisasi halal pada produk merupakan inovasi produk, salah satunya untuk menarik konsumen muslim berbelanja. Sebab semakin meningkatnya produk impor yang berasal dari negara non muslim, selain itu semakin meningkatnya jumlah kedai atau warung ataupun restoran di Indonesia yang memiliki masakan beraneka rasa dan jenis dari luar negeri.

Semakin berkembangnya permintaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman, serta industri lain yang berbasis halal menuntut pemerintah untuk menerbitkan UU Jaminan Produk Halal (JPH) No. 33 Tahun 2014. Bukan hanya mengesahkan tapi juga memberlakukan secara serius UU tersebut. Sebab tanpa regulasi pemerintah yang jelas, industry halal di Indonesia tidak akan pernah berkembang. 

Saat ini saja, adalah konsumen produk halal No. 1 di Dunia, namun tidak masuk dalam 10 besar  produsen produk halal dunia. Terbukti Indonesia memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia yakni 215 juta muslim 13% mewakili penduduk muslim dunia (tahun 2015). 

Pengeluaran agregat US $ 218,8 miliar di seluruh sektor ekonomi syariah pada 2017 (pengeluaran makanan halal mencapai US $ 170 miliar. Menurut laporan GIEI tahun 2018/2019, industri berbasis ekonomi syariah di Indonesia menempati posisi ke 10 dari 15 negara yang disurvey berdasarkan indikator GIEI. Posisi tersebut didorong oleh industri makanan halal.

Dari data tersebut, Indonesia belum mampu menjadi produsen utama dalam industri halal khususnya makanan. UU JPH No. 33 Tahun 2014 dirancang guna mempermudah para pelaku industri untuk melakukan proses sertifikasi halal dengan aman, cepat dan mudah. Pada tanggal 17 Oktober 2019 Undang-undang ini resmi diberlakukan, artinya setiap pelaku usaha wajib memiliki label halal pada produknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline