Lihat ke Halaman Asli

Nikmat Jujur

Hanya Selingan

Catatan Hitam FPI dan antinya terhadap Gusdur, Mega dan Jokowi

Diperbarui: 22 Juni 2016   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Melihat semakin menjalarnya kekeuatan FPI mempengaruhi semangat toleransi di tanah air. Menjadi tertarik rasanya untuk mengungkap hakikat keberadaan FPI, sepak terjang dan visi misi di belakang layar yang tak disadari sebenarnya telah melunturkan moral dan semangat berkehidupan dan  berkenegaraan Pancasila hampir dari 25 % warga bangsa di tanah air Indonesia. Lebih lagi ketika istri dari Bapak Pluralistik bangsa Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid diundang oleh dengan beberapa tokoh Katolik Semarang dalam jamuan berbuka puasa bersama, untuk maksud dan tujuan membangun kerukunan lintas agama (di sini kliknya).

FPI jika dicermati secara benar awal lahirnya dibawah pimpinan komandan Laskar Jihad yang dikirim ke Maluku kala itu, Ustadz Ja'far Umar Thalib, yang berasal dari gerakan Wahhabi. Sebagai imam gerakan Salafi di Indonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Dirinya merupakan Alumnus pesantren Persis di Bangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan, dan dari sana dirinya bergabung dengan gerilyawan Taliban di Afghanistan (1987-1989).

Laskar Jihad ini semakin eksis merajalela dengan Faham KeArabiannya awalnya pada saat keterlibatan aktifnya sebagai sekutu oposisi pemerintah untuk berperang melawan kaum Kristen di Maluku. Awalnya dari adanya sebuah fatwa, di awal tahun 2000, seorang Imam Salafi Yaman yaitu Syaikh Muqbil Bin Had Al Wadi'. Dimana Fatwa tersebut dikhusus  untuk aktivitas berjihad di Maluku bukan di seluruh Indonesia. Demikian awal mula munculnya FPI yang sekarang bunglon menjadi pembela ideologi Islam yang sebenarnya bergaris keras tak manusiawi dan tak sejalan dengan semangat Pancasila. Karena Faham dianut adalah Faham Arab Saudi. Sehingga tak heran jika Habib Reseh yang mengklaim diri wakil Nabi Muhammad SAW di Indonesia terus geram dengan berjihad versi ngaurnya. Sekalipun jika diperhatikan hanya sebagian kecil pemeluk agama Islam (muslim)  di Indonesia yang sejalan dengan ajaran sesat Habib yang mengklaim dirinya Turunan Nabi. Karena mengingat NKRI bukanlah serupa dengan Negara Republik Arab Saudi tapi negar kita Negara Republik yang BerBhinneka Tunggal Ika ….bukan Republik yang mengutamakan politik Pecah belah kayak yang difahami Habib Riziq/Rezeh saat ini dan kelompoknya yang menganggap dirinya paling benar selangit. Sehingga tidak heran jika Istri Gusdur dengan semangat toleransi ingin mengahdiri acara buka bersama di Semarang pun sebagaimana diketahui bersama gonjang-ganjing gini gitu oleh kelompok sesat di Republik (FPI).   

Kehadiran FPI sebagian besar dari kita pasti mengetahuinya, bukan lahir dan dibentuk begitu saja tapi merupakan rekayasa Rezim Suharto dan kroninya (kubu TNI)  ditambah dukungan anggota Dewan yang NB juga dari barisan TNI atau sering dikenal dengan Aliansi Taktis DPR dan TNI – Polri. Dimana untuk kubu TNI-Polri terkuat saat itu adalah Laksamana Widodo (Panglima TNI Abal-Abal), Jenderal Prabowo (Gerindra – Tikus Tua) dan Jendral Dai Bachtiar (Munafik berwajah Dua). Untuk kubu politik Amien Rais, Abdul Gafur, Hamzah Haz, dan Fuad Bawazier, serta Habibie yang popular dalam wadah orang pintar muslim (ICMI) tapi tak bersemangat pluralistik yang menhormati Pancasila.

FPI   sendiri hadir dalam nuansa rekayasa untuk menentang pemerintahan Gusdur yang juka diperhatikan cuman semenit saja karena kepentingan kelompok maker bangsa dari TNI-Polri serta politikus saat itu seperti yang disebutkan sebelumnya. Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang tidak dibeberkan secara rinci di balik layar rusaknya bangsa ini (silahkan search sendiri jika ingin melengkapi aktual referensi pribadi). Apa latar belakang penentangan terhadap Gusdur yang menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri di Indonesia yang selanjutnya mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia. Hal tersebut yang oleh para politisi yakni politisi Poros Tengah, Golkar dan militer dianggap sebagai  'penyimpangan' yang selanjutnya kelompok ini mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Gusdur dari kursi kepresidenan dengan mempolitisir kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.

Sebagai bukti keterlibatan pihak militer dan polisi, sebenarnya bagi bangsa ini adalah proses pembodohan publik tapi  jurnalis asing yang sempat mematai secara langsung saat itu yang sempat membeberkan semuanya. Dimana menurut jurnalis asing tersebut bahwa ada tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukanKostrad, Brawijaya, Kopassus dan Brimob. Harus diakui bahwa keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain. Dimana pada saat itu  Para tentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot palsu sebagai ciri Laskar Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Laskar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen. Beberapa orang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimana terjadi ketika empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahan di atas kapal KM Lambelu,pada 5 Agustus 2000, kira-kira 70 orang perwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para relawan kemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbang militer Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisi perlengkapan mereka ke dalam pesawat terbang.Mereka memakai seragam loreng, lengkap dengan lencana Kopassusnya. Kehadiran para anggota Kopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para jurnalis sejak Januari 1999.

Kasus daerah lain seperti Aceh, posso, Papua, dan Jakarta terkait pembataian terhadap etnis Tinghoa pun indikasi keterlibatan TNI Polri adalah sangat pasti dan terelakkan lagi (hasil TPF- Tim Pencari Fakta). Sedang Peran FPI adalah sebagai aliansi dari Politisi dan TNI-Polri yang berseberangan dengan pemerintahan Gusdur yang cenderung Pluralistik dalam konteks toleransi (sehingga Gusdur pantas dijuluki bapak Toleransi/Pluralistik Indonesia). Aliansis dalam wadah FPI inilah yang disusupi oleh TNI dan Polri untuk melancarkan kepentingan kelompok.

Sepintas lalu, semua perkembangan ini tampak berlangsung secara spontan. Tetapi di bawah permukaan, ada dua jaringan yang saling berhubungan, yakni jaringan militer dan jaringan Muslim militan, yang masing-masing punya agenda sendiri, tetapi dipersatukan oleh tujuan bersama untuk menyabot tujuan pemerintah untuk menurunkan kekuasaan militer dan untuk menciptakan masyarakat yang terbuka, toleran, dan bebas dari dominasi suatu agama di era Gusdur hingga Megawati Kala itu sesudah Gusdur.

Tindakan TNI dan Polri yang dimotori oleh Kopassus dengan melibatkan FPI (laskar jihad) berakibat saat itu ada sinyalemen bahwa dterjadi korupsi sebesar Rp 173 milyar di lingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itu masih berada di bawah Djadja Suparman (Tempo, 24-30 April 2001, Laporan Utama), ada hubungan dengan kerusuhan di Maluku. Sebagian dana itu digunakan untuk membiayai pelatihan dan pengiriman 6000 orang anggota Lasykar Jihad ke Maluku. Paling tidak. Itulah  begitulah yang dipercayai oleh para anggota Kongres AS, hingga sempat menolak normalisasi kerjasama militer antara AS dan Indonesia.

Sebenarnya mewacanakan FPI sebagai aliansi taktis Oposisi pemerintah sejak dulu sih tak cukup setahun membahasnya dalam tulisan. Tapi yang teramat penting bagaimana FPI dan jaringannya harus dibasmi demi menjamin tegaknya nilai juang dan semangat Pancasila yang telah terbina sejak dulu. Karenanya jika saja FPI mewacana PKI maka kelompok FPI-lah yang lugas kata identik dengan PKI corak baru di Republik saat ini.

Sebagai penutup sebagai catatan kepada kita semua bahwa pada dasarnya hingga saat ini 3 sosok di Republik yang paling tidak disukai di Republik dalam kubu pemerintahan adalah GUSDUR (telah Almarhum), MEGAWATI (mantan Presiden wanita menggantikan Gusdur yang tidak disetujui kelompok FPI karena dirinya wanita tidak layak). Selanjutnya Jokowi (ketika menjadi walikota Solo pernah menjadi Walikota bercorak kepemimpinan Pluralistik/Pancasilais sehingga mampu memberi kemajuan berarti bagi kota Solo sekalipun merupakan basis PKI juga Islam garis keras  Ustad Abu Bakar Baasyir). Selanjutnya jika saja ingin mengetahui dan menelusiri lebih jelas akan fakta terungkap, sangat disarankan untuk lebih banyak mencari dan menemukan lagi melalui proses Search ke Link-link dan Web-Web Kramat bangsa yang bisa jadi belum banyak orang ketahui dan temukan dan membacanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline