David Reeve mengungkap bahwa paling awal Golkar dalam gagasan integralistik kolektivis adalah buah pemikiran Soepomo, Sukarno dan Ki Hadjar Dewantara pada periode 1940-an 1950-an 1. Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 bertujuan menghindari rongrongan PKI beserta ormasnya, Mengingat hasil Pemilu 1955 ada empat kekuatan partai politik terbesar yang sekaligus keluar sebagai “pemenang” antara lain Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Masyumi, NU, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari ke empat partai tersebut PKI-lah yang memperoleh suara begitu besar2.
Ide pertama pembentukkan Sekber Golkar hadir sebagai buah pemikiran Jenderal A. H. Nasution bersama rekan - rekannya di TNT pada Oktober 19642. Organisasi-organisasi yang terhimpun dalam Sekber Golkar saat itu adalah 7 (tujuh) kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: 1) Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO); 2) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI); 3) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR); 4) Organisasi Profesi; 5) Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM); 6) Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI); 7) Gerakan Pembangunan untuk menghadapi Pemilu 1971, dengan menyepakati secara bersama 4 Februari 1970 untuk logo dan nama Golongan Karya (Golkar) yang masih digunakan sampai sekarang3.
Sejak Pemilu 1971 Golkar organisasi politik dominan terlebih setelah 1982, semenjak masa pemerintahan Orde Baru. Fakta membuktikan kejayaan Golkar saat itu dikarenakan Golkar sangat terdukungan kekuatan militer dan birokrat, sehingga selalu mendapat perlakuan istimewa ketimbang partai politik lainnya.
Runtuhnya kejayaan Golkar bersama dengan runtuhnya Rezim Orde baru di bawah kendali pemerintahan Suharto. Tak dapat dipungkiri bahwa di era kepemimpinan Akbar Tanjung maupun Jusuf Kalla Golkar masih terbilang cukup eksis dalam peringkat pemenangan suara di Pemilu akan tetapi setelah berpindah ke Ical, Golkar semakin terpuruk eksitensi dalam dunia perpolitikkan. Akibat banyaknya kepentingan yang membuat begitu memprihatinkan nasib dan masa depan partai politik yang berlambang pohon beringan.
Visi misi Golkar sebanarnya sejak dahulu hingga sekarang jelas yakni memperjuangkan dan mempertahankan nilai dan semangat Pancasila serta NKRI tapi subjektivitas keikutsertaan setiap kader dalam partai jika diperhatikan semakin lama semakin teragukan. Bagaimana tidak teragukan ketika merebaknya pertikaian antara kubu Ical dan Agung Laksono.
Hal tersebutlah yang menjadi penyebab merosotnya pamoritas kepertaian dari Golkar yang sebenarnya jika saja berjalan sebagaimana yang diharapkan bukan tidak mungkin Golkar masih merupakan partai besar dengan soliditas yang cukup disegani, tapi kenyataan saat ini bukanlah demikian yang terlihat di periode belakangan ini.
Golkar era Soeharto (Orla) terlindas reformasi, muncul Golkar era baru tahun 1999, 2004 dan 2009. Saat itulah gagasan asli partai bagaimana memenangkan ide besar partai serta mengalahkan segala ide anti-partai pun terlupakan dalam wacana pemenangan Pemilu. Membuat banyak tokoh militer menjadi tidak puas dan meninggalkan partai membuat sekelompok pengusaha terus melanggeng mengambil alih kepemimpinan di kubu Golkar. Inilah awal rusaknya pamoritas di kubu partai berlambang beringin yang dikonsepkan awal sebagai pelindung semangat memerdekakan masyarakat dari ketertinggalan dan keterbelakangan masalah kesejahteraan ekonomi rakyat.
Sejarah memang membuktikan andil besar kelompok TNI dan birokrat membesarkan nama Golkar di masa lalu. Tapi fakta itu kini tinggal tonggak sejarah tak perlu direka ulang karena kini kelompok pebisnis bertopeng kelompok berkarya memasukan paham subjektivitas ke dalam misi pemenangan partai untuk sejumlah kepentingan terselubung. Padahal sejarah Golkar dimasa lalu pada dasarnya menjauhkan hal serupa. Sehingga kala itu TNI pun berinisiatif membentuk dan sekaligus memimpin dan terlibat langsung memainkan peran menumbangkan kelompok penyengsara dan penerlantar nasib rakyat saat itu (PKI) yang bermotif menguasai sistem perekonomian bangsa kala itu.
Pada dasarnya Pasal 33 UUD 1945 adalah bukti sekaligus bentuk penjauhan dominasi partai atas asset sensitive perekonomian bangsa “Cabang-cabang produksi penting serta menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh Negara”. Terbentuknya pasal khusus adalah pasal bersejarah yang menguatkan posisi pemerintah/Negara mengatur dan mengurus perekonomian Negara untuk sebesar-besarnya kepentingan mensejahterakan masyarakat bangsa. Mengupas rinci eksisibilitas pasal ini dan subjektivitas partai di kubu Golkar adalah tak perlu lagi karena sudah menjadi konsumsi Publik yang terus diwacanakan sebagai pemicu pecahnya kubu partai Golkar.
Sebenarnya sejarahnya telah mengisyaratkan pentingnya TNI menguasai kepemimpinan di kubu partai Golkar dimasa lalu. Pertama TNI dianggap mampu mengawal, menjaga Keutuhan NKRI dari Rongrongan PKI dengan strategi dan kekuatan personil, Kedua TNI kala itu dianggap bukan aktor tak teragukan soal manuver penguasaan politik perekonomian bangsa (sekalipun belakang diketahui Suharto mengingkarinya).
Dua konsep tersebut yang utama menjadikan gagasan integralistik kolektivis awalnya buah pemikiran Soepomo, Sukarno dan Ki Hadjar akan tetapi Jenderal A. H. Nasution bersama rekan - rekannya di TNT Oktober 1964 yang mampu menghimpun kekuatan hasil upaya menghimpun dan meleburkan 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO) menjadi Golkar di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto kala itu (sekalipun fakta sejarah terbukti berbeda bukan pemimpinnya Jenderal A. H. Nasution).
Pertanyaannya apakah kilas balik sejarah pendirian dan nama besar partai Golkar dimasa lalu masih layak dijadikan alternatif penyelesaian konflik di kubu Golkar saat ini? Penghuni partai Golkar dan simpatisan sebenarnya sudah harus kembali mereview sejarah perjalanan partainya agar mampu mengembalikan kejayaannya dimasa lalu. Penjajah ekonomi dalam neokolonialisme sebenarnya merupakan hama atau virus yang trend saat ini menelentarkan perekonomian bangsa.
Penguasa ekonomi (pebisnis) mencoba mengelabui public dan pemerintahan baik militer maupun birokrat untuk menguasai perekonomian bangsa untuk kepentingan pribadi atas nama partai secara terselubung. Sehingga tidak mengherankan jika partai politik dan kadernya kini bagai kucing yang sementara menanti pengasihan tuannya di atas meja makan bersama keluarga.
Tulisan ini bukan sengaja tulis untuk menaikan nama seorang kader Luhut tapi jujur hanya sekedar wacana pertimbangan sederhana guna mengembalikan citra partai Golkar di depen publik masa akan datang. Memang beberapa nama telah muncul tapi bukan alangkah baiknya rekam jejak seorang bakal calon adalah wacana penting dalam menyeleksi motif pengajuan Bakal Calon Ketua (Balontua) kubu partai Golkar nantinya.
Akhirnya selamat menakar kepentingan, menuai permasalahan, merancang perpecahan, memikul dosa terselubung bagi Golkar. Tolong jangan jalankan misi yang tak sejalan dengan semangat awal partai tapi bangkitkan misi jernih partai agar publik kembali merapatkan barisan perkuat Partai Golkar dimasa akan datang. Salam sekali Golkar tetap Golkar, Sekali NKRI tetap NKRI…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H