Lihat ke Halaman Asli

Nikmat Jujur

Hanya Selingan

Idealnya Kejujuran dan Kebohongan

Diperbarui: 8 April 2016   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kejujuran dan kebohongan beda tipis sifatnya”, pasti banyak yang menolak pernyataan tersebut. Lantas bagaimana dengan statement lain saya yang boleh kata serupa tapi tak sama yang mungkin saja banyak orang menolaknya “kesempurnaan adalah kebohongan” dan hal tersebut saya pribadi lukiskan dalam tulisan saya terdahulu ( Klik Di Sini ) dua hal tersebut menurut saya adalah dua sisi mata uang yang boleh dibedakan tapi tidaklah bisa terpisahkan. Mengapa dikatakan demikian karena kedua pernyataan serupa tapi tak sama atau terpisah tapi sulit terbedakan tersebut terkadang membuat manusia terkadang menjadikannya tameng persembunyian yang lugasnya bisa dikata membohongi diri sendiri yang tanpa disadari sebenarnya jika dicermati kadang bisa jadi sumber ketidaknyamanan kalau pun bisa nyaman, balik lagi harus dikatakan kenyamanan yang sifatnya beda tipis dengan ketidaknyamanan,  sepakat tidak sepakat hal tersebut jelasnya tidaklah realistis melainkan realitas kehidupan yang mau tidak mau adalah hakikat kemanusiaan yang bernafas.  

Jujur sepanjang waktu adalah sesuatu hal yang tidaklah realistis, padahal berbohong adalah bagian integral dari proses interaksi dengan lingkungan dan sesama di sekitar kita. Michael Lewis seorang prof. pediatri & psikiatri pun mengatakan bahwa “tidak terlepas dari lazimnya ungkapan orang tua pada anaknya  bahwa “berbohong tidak selalu buruk serta alasan penting mengapa hampir semua orang lebih banyak belajar berbohong, maka dirinya pun membedah kebohongan menjadi empat jenis antara lain : 1) berbohong untuk melindungi perasaan orang lain, 2) berbohong untuk melindungi diri, 3) berbohong kepada diri sendiri dan 4) berbohong untuk menyakiti orang lain.  Melandasi hasil investigasinya tersebut dirinyapun berkesimpulan bahwa Berbohong adalah proses dasar berimajinasi dan bermain serta berkreativitas. Sebagai bukti banyak dari  para orang tua terkadang cenderung mengajarkan anak-anaknya untuk tidak berbohong atau  dengan kata lain berbohong adalah buruk, tapi pada dasar mereka tak memahami bahwa berbohong tidak dapat dilepas dari kehidupan kita setiap saat. Lewis pun berstatement bahwa berbohong yang cenderung buruk adalah kebohongan yang benar-benar  dirancang untuk menyakiti orang lain. Berarti jika kebohongan yang tidak dirancang untuk menyakiti orang lain tidaklah buruk adanya, hal tersebut itu pun relativitas sifatnya karena lebih kea rah normatif atau normalisasi. Mengapa demikian karena pada prinsipnya hakiki atau Bagiku karena itulah aku dan bagimu karena itu adalah kamu.

Tertarik benar memang meneruskan pemikiran Lewis terkait kejujuran dan kebohongan. Menurut Lewis Secara medis awal berbohong adalah ketika balita yakni saat kita masih pada fase hanya menerima isyarat dari orang tua semata. Bahkan yang miris benar menurutnya adalah orang yang paling jujur sekalipun akan berbohong sepanjang waktu, Contohnya  sering berbohong ketika ditanya "Bagaimana kabarmu?" atau "Apakah Anda suka makanan?" kebohongan itu sendiri menurutnya mulai jelas dan terlihat saat usia anak-anak yakni  2 dan 3 tahun, sedangkan bagi orang dewasa berbohong sifatnya sepanjang waktu/sepanjang hayat. Jika diperhatikan usia anak-anak adalah usia yang rentan dan cepat sekali menangkap isyarat berbohong ketika orang tuanya memberitahu/menegur atau melarang mereka jika mereka melakukan sesuatu yang sifatnya salah, padahal sebenarnya jika tidak dibohongi pun anak-anak pun mengetahui dengan cepat bahwa mereka kesulitan.

Lewis pun sempat mengatakan bahwa anak-anak yang lebih stabil emosionalnya adalah mudah dan cepat untuk belajar menghindari mengatakan yang sebenarnya, hal tersebut yang menjadi kunci awal kecenderungan kita untuk berbohong daripada mengatakan yang sebenarnya." Sebagai bukti selaku orang tua sangat sering kita menginstruksikan anak  untuk sesuatu yang sifatnya berbohong dan melindungi perasaan, seperti memberi hadiah dengan memberikan sesuatu yang sebenarnya anak tidak inginkan, bukankah yang demikian adalah tindakan menipu diri sendiri akan tetapi hal tersebutlah yang adalah komponen kunci yang berpengaruh terhadap daya imajinasi anak. Sementara di sisi lain yang terselubung sifatnya jika dipahami benar dirasa bagai keuntungan/keberhasilan atupun kesuksesan jika saja dapat berbohong kepada diri mereka sendiri. lebih lanjut Lewis berstatement bahwa anak umur 2 tahun sebenarnya telah mampu terlibat dalam permainan berpura-pura, padahal sesungguh mereka telah tahu apa yang sebenarnya adalah berbeda dengan kenyataan.  Dengan demikian bukannya hal tersebut merupakan tindakan pembohongan terhadap diri sendiri sekaligus pada saat yang sama pun saudara tahu pula bahwa telah membohongi diri sendiri.

Unik dan menariknya temuan Lewis adalah bahwa biasanya sekitar dua-pertiga dari anak di bawah usia 5 cenderung berbohong, sedangkan menginjak unis 7 tahun 90 persennya cenderung berbohong, tapi kebohongan-kebohongan mereka tidaklah selalu buruk karena adalah ekspresionitas kecerdasan emosional pada anak. Lantas bagaimana dengan manusia bukan lagi kelompok anak-anak jelaslah adalah 100 persen terlibat dalam relativitas dan normalitas kebohongan entah beresensi baik maupun buruk.

Jika telah banyak kita melihat apa itu kebohongan lantas apa itu kejujuran, sulit memang meneropong kemutlakkan makna jujur dalam hidup karena jika bohong adalah bagian integral dari interaksi dengan lingkungan dan sesama di sekitar maka jujur pun dalam dalam skala relatifitas serta realitas adalah bagai dua sisi mata uang yang sulit dibedakan juga sulit dipisahkan. Sehingga jika saja ada banyak dari kita yang menilai dirinya adalah selalu jujur bukannya hal tersebut adalah bagian dari tindakan pembohongan. Hal seperti demikian berani distatemantkan maka rasanya tak penting lagi lebih jauh membedah esensi kejujuran seperti air tambah gula rasanya manis, ditambah garam rasanya asin, tak diberi apapun jelas terasa hambar dan itulah manusia dengan rasa yang dipengaruhi pikiran. Lebih lanjut tergeneralisasi demikian manusia adalah secara struktur badaniah adalah sempurna karena adalah gambar atau rupa Ilahi sedangkan secara struktur rohaniah adalah relatifitas, realitas, normalitas yang adalah kodrat sebagai karunia Ilahi. Akhir sebagai kesimpulan sekedar dipertegas bahwa kejujuran dan kebohongan bukanlah kemutlakan melainkan  relatifitas, realitas, normalitas yang senantiasa hidup berdamping dan beriringan sulit terbedakan sebagai kodrati manusia yang adalah karunia Ilahi


Leka Roy, Putera Timur Nusantara, 8 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline