Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menurut informasi telah mempersiapkan 4.451 pemeriksa maupun intelejen serta 700 juru sita untuk menjalankan tugas dan amanat Negara dalam mengupayakan memperkuat/menggenjot kondisi sektor perpajakan yang diharapkan dapat berkontribusi langsung bagi penerimaan Negara. Menilai apa yang dibijaki pemerintah terkait perkuatan pilar penerimaan Negara dari pendapatan perpajakan dinilai cukuplah tepat. Mengingat nilai realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014 cukup positif ekspektan bagi pendapatan Negara dimana sektor perpajakan menjadi kontributor terbesar yakni 73,97 % dari total pendapatan 1.550 Triliun, sedangkan untuk penerimaan pendapatan bukan pajak hanya sebesar 25,71% atau 398.59 Triliun.
Tugas menggenjot sektor perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) guna mempercepat proses peningkatan Penerimaan pendapatan Negara merupakan langkah percepatan gerak laju pembangunan bernuansa ekplorasi pengembangan sumber-sumber perpajakan melalui perbaikan regulasi dan penyederhanaan sistem dibeberapa waktu ke depan nantinya. Potensi kependudukan terlihat awal sebagai modal dasar utama pengembangan di sektor tersebut, dimana masyarakat Indonesia yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa adalah hitungan kasar tak nampak selama ini, yang mau tidak mau sudah secepatnya diakomodir pelaksanaannya secara baik dengan proses yang transparan dan akuntabel guna peningkatan kapasitas penerimaan pendapatan Negara.
Pertanyaan dapatkah regulasi mengakomodir berbagai sisi kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaannya dikemudian hari nantinya. Hal lain yang tak kalah menarik selain pertanyaan di atas adalah 114.628.026 jiwa penduduk Indonesia yang terkelompokkan usia kerja (yakni 15 tahun ke atas) sesuai data statistik 2014 sebagai catatan kecil DJP yang adalah subjek pajak berpotensi yang harus dikelola dan dioptimalkan secara baik guna mendatangkan manfaat kontribusial bagi penerimaan pendapatan negara. Sehingga manakala hal tersebut dapat tercapai melalui mekanisme pengelolaan penerimaan pajak yang trust adalah kemungkinan mendongkrak penerimaan pendapatan Negara pada nilai yang fantastis dengan motif awal pengejaran pajak konsumtif. Hal tersebutlah yang sedang dijadikan lahan garapan potensial pemerintahan saat ini guna mengurangi kebocoran keuangan Negara di sektor perpajakan. Lebih dari itu jika diperhatikan adapula ekspektasi lain menurut laporan DJP bahwa ada sekitar 5 juta WP Badan Usaha yang mana hingga saat ini baru 11 persen atau sekitar 550.000 WP Badan usaha yang sesuai evaluasi yang telah memenenuhi kewajibannya, dengan demikian masih tersisanya 4.450.000 WP BU (89%) akan jadi subjek garapan yang dapat dimanfaatkan dan diberdayakan sebagai subjek pajak baru penopang peningkatan pendapatan dari sektor pajak.
Mengevaluasi kondisi penerimaan pendapatan sektor perpajakan 2014 lalu yang mana pada nilai 1,150 Triliun (92,04% capaian target), selanjutnya dikaitkan dengan 89% WP BU belum terakomodir pertanggungjawabanny, maka terbilang masih sekitar 10,450 Triliun lebih penerimaan Negara sektor perpajakan yang masih mengalami kebocoran selama ini. Dengan demikian jika saja pemerintah serius menyikapi akan hal tersebut bukan tidak mungkin dengan hanya 50% kebocoran mampu teratasi, pendapatan Negara pun akan meningkat atau bertambah sebesar 5,210 Triliun lebih. Memang hasil evaluasi dan kajian pengembangan terkait kontribusi perpajakan terhitung ekspektatif realistis akan tetapi yang terpenting dalam mewujudkannya adalah bagaimana komitmen pihak otoritas perpajakan menanggulangi kebocoran tersebut. Langkah proaktif, kreatif, inovatif, efisien dan efektif menyikapi dan menindak lanjuti setiap realitas permasalahan perpajakan entah itu proses peroleh maupun pencapaiannya adalah hal mutlak sekaligus kendaraan utama mengejar perbaikan terhadap kebocoran pipa penerimaan Negara dari sektor perpajakan beberapa waktu ke depan.
Penerimaan negara 2014 lalu melalui pendapatan pajak dalam negeri jika dibandingkan dengan pendapatan luar negeri/internasional maka pendapatan Negara dari sektor pajak dalam negeri adalah lebih besar yakni 96,16 % dibanding penerimaan pajak luar negeri/internasional yang hanya 3,81%. Hal tersebut mengindikasikan pentingnya pemberdayaan ekstra di masa akan datang terhadap sektor luar pula agar bukan hanya sektor pajak dalam negeri semata yang jadi sektor kontributif akan tetapi sektor perpajakan luar negeri pun harus diupayakan peningkatan kontribusinya minimal mampu mengimbangi sektor pajak dalam negeri. Hal tersebut setidaknya dapat tercapai melalui adanya sejumlah regulasi implikatif baru berdaya dorong peningkatan kapasitas nilai perolehan. Memperhatikan LKPP 2014 lalu jelas terlihat bahwa Penerimaan Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah elemen penting yang cukup memiliki nilai kontribusi tertinggi adalah dari pajak penghasilan (49,51%) diikuti pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (37,09%) dan pendapatan cukai ( 10,70%). Lantas yang harus disikapi serius adalah dari pajak penghasilan yang secara pengamatan potensi adalah sumber kebocoran penerimaan pendapatan sektor pajak.
Genjotan penerimaan pendapatan sektor pajak terhitung senjata pamungkas pemerintahan Jokowi-Kalla dalam mengupayakan perbaikan dan peningkatan sistem serta mekanisme penggerakan pembangunan, tak terpungkiri cukup handal dalam menghadirkan multiplyer efek sebagai contoh jika saja langkah penggenjotan berhasil mencapai dan menembus nilai 50% realisasi, maka bukan tidak mungkin pengaruhnya terhadap peningkatan Transfer dana perimbangan DBH perpajakan pada 539 Provinsi/Kabupaten/Kota pun mengalami peningkatan signifikan yang secara tidak langsung pun akan menjadi pemicu aspek peningkatan pembangunan sektor lainnya. Hal demikian memang sudah sepantasnya dijadikan langkah penguatan dan pengleluasaan gerak pelaksanaan pembangunan, tapi masalahnya adalah apakah masing-masing daerah telah siap menterjemahkannya dengan regulasi dan tindak lanjut pembijakan yang sejalan dengan kebijakan DJP secara transparan dan tertanggungjawab.
Bekerja sama dengan 23 bank di tanah air dalam melacak lebih jauh sumber-sumber kebocoran sekaligus bersama ke-23 bank tersebut bergandengan tangan mengupayakan langkah preventif perbaikan terhadap kebocoran serta penyumbatan sumber-sumber penerimaan Negara di sektor perpajakan adalah suatu langkah bijak era pemerintahan Jokowi-Kalla saat ini. Tetapi saat ini pula DJP dan perangkat di bawahnya harus pula menyadari bahwa tindakan mereka pun harus diikuti dengan langkah awal perbaikan dan pembersihan dalam kubu perangkat secara intern. Hal tersebut mungkin kini jadi sorotan publik dimana publik lebih menginginkan bagaimana langkah pengujian terbalik oleh DJP dan perangkatnya terlebih dahulu. Mengingat masyarakat cukup memahami akan niat baik pemerintah tetapi di balik semua itu keinginan masyarakat pun agar ke depan mampu tercipta iklim perpajakan yang handal dan terpercaya. Sehingga oleh pemerintahan saat ini hal tersebut haruslah terlebih dahulu disikapi sebagai langkah keseimbangan antara tugas tanggungjawab dan profesiaonalisme. Mengapa hal demikian yang diinginkan oleh publik/masyrakat karena masyarakat sebagai wajib pajak ingin ada prakarsa awal di kubu perangkat pajak seperti menjadi pilot project dalam perbaikan sistem perpajakan di Indonesia. Alhasil berdampak pada tergeraknya subjek pajak nakal selama ini untuk kembali ke jalan seharusnya sebagai warga Negara bertanggung jawab terhadap kelangsungan nasib bangsa melalui siap prilaku WP baik guna menopang kemajuan pembangunan Negara melalui taat melunasi pajaknya. Selebihnya adalah bagaimana DJP mampu bertindak cepat terkait upaya pelunakan dan penyerderhanaan regulasi sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi banyak multitafsir di kalangan WP seperti yang pernah disampaikan utusan DJP pada bincang-bincang dengan pemirsa radio Elsinta minggu 4 April 2016.
Leka Roy, Selasa 6 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H