Lihat ke Halaman Asli

Nikmat Jujur

Hanya Selingan

Sempurna Adalah Kebohongan dan Kesombongan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika saja ada di antara kita yang menganggap dirinya sempurna maka hanyalah sebuah kebohongan di tengah kesombangannya. Lantas jika dirinya menyatakan, bahwa dirinyalah yang sempurna, berikan alasan yang rasional terkait kesempurnaan yang statementkannya? Indikator seperti apa yang dipakainya? Siapa yang memberikan keputusan akan kesempunaannya? Siapa yang jadi hakim teradil untuk penilaian kesempurnaannya? Berikan jawaban yang rasional dalam multidimensi kaji terkait kesempurnaan itupula?

Tapi maaflah saat ini saya memberanikan diri menggugah alam pikir kita semua akan apa sih kesempurnaan itu sebenarnya menurut versi kaji saya pribadi, maaf jika nantinya kuranglah memuaskan sebelumnya, karena nyata dan jelas saya juga jauh dari kesempurnaan dan sementara mencari dan terus mencari nantinya entah sampai kapan?

Dunia dihadirkan dengan 2 (dua) pilihan gelap-terang, baik-buruk, benar-salah, ya-tidak. Tapi mengapa hingga saat ini nda pernah saya jumpai, entah dalam ajaran manapun di muka bumi, yang dalam buku pintarnya mengutarakan bahwa Sang Ilahi mengamatkan sesuatu yang sifatnya ragu-ragu/suam-suam kukuh/kondisi antara. Berarti jelas kita harus sudah memahami bahwa Sang Ilahi adalah pribadi yang luar biasa, DIA bukan pribadi yang terpengaruh, lain halnya dengan manusia yang merupakan pribadi terpengaruh, lantas banyak pertimbangan menoleh ke kiri, ke kanan, ke belakang, ke depan, ke atas, ke bawah atau dengan kata lain ke sekeliling dulu baru buat keputusan, sehingga tak dapat dipungkiri, lantas terkadang keputusan kita bukan keputusan yang bijak dan arif sifatnya, akan tetapi ngelantur serta sia-sia adanya, melainkan keputusan Sang Ilahi-lah yang adalah AMIN atau benar.

Yang luar biasa dari manusia sebenarnya kalau kita cermati secara baik adalah “Kesombongan” belaka. Lanjut cerita akan Kejatuhan manusia awalpun karena di dasari kesombongannya, berlatarkan merasa dirinya lebih tahu, lebih bisa, lebih menguasai, padahal manusia tidak mengetahui bahwa ada yang menjadi pemimpin utama bagi dirinya yakni Sang Ilahi. Lantas jika kita menyadari akan hal ini, masihkah mungkin? Kita harus terus membusungkan dada kita? Pertanda keperkasaan dan kekagahan kita? Sungguh-sungguh ironis bangat….dan Sang Ilahi sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya tanda keanehan telah terjadi. Sejauhmana sih kemampuan manusia? Sehingga lantas harus terus membusungkan dada ingat “di atas langit ada Sang Ilahi” kalau yang sering kita dengar dari ungkapan kemanusiaan kita demikian “di atas langit ada langit” kenapa di atas langit ada langit lagi? lantas kapan langitnya itu selesai? Siapa yang pernah tahu langit terakhirnya dimana? Nama langit itu apa? Siapa yang pernah melihatnya di antara manusia ini? Lalu apa sih yang harus direpot pikirkan? dan mengapa harus terus busung dada hai manusia? Dimana sih lebihmu?

Kalau saja kita menyimak semua ungkapan di atas tadi? Sungguh sifat ini yang senantiasa melekat dan terus melekat pada diri manusia yang sarat dengan kesia-sian. Sedikit mengetahui banyak yang dikisahkan jelas akan salahkan, bukannya kalau sedikit perlahan mengejarnya, dan juga jelas harus dipahami bahwa sampai menutup mata itulah usia/waktu pencarian kesempunaan kita. Di situ pulalah saatnya kita menemukan titik sempurna kita. Tapi sangat disayangkan bahwa pada saat bersamaan pula kita telah berada dalam alam sempurna yang adalah milik Abadi Sang Ilahi.

Dengan demikian apa lagi yang harus kita simpulkan selain kesimpulan kita hanyalah bahwa yang paling sempurna di kehidupan ini hanyalah kematian. Karena bagi saya yang bodoh, lemah, tak berarti, tidak ada lagi yang lain dari itu dan itu klimaks dari pencarian kesempurnaan, yang setelah mendapatkannya otomatis kembalilah kita kepada Sang Ilahi, karena itulah yang dikehendaki dari Sang Ilahi, yakni batas atau titik kesempurnaan.

Selanjutnya maaf kalau kembali saya pingin bertanya kepada kita semua, Siapa sih yang bisa mengelak dan menghindar dari hal di atas? nda mungkin dan tak ada celah atau ruang pun untuk mulut ini berkata mungkin. Ya itulah batas kesempuraan manusia dan saat itu pula kita katakan AMIN/Benar/selesai/tamat dan hanya boleh ungkap semua kenyataan itu adalah baik adanya.

Dengan demikian setelah kita mengetahui bahwa batas kesempurnaan kita adalah Kematian dan kematian pulalah titik akhir kesempunaan manusia, maka yang kita lakukan selama ini adalah tidak lain dan tidak bukan adalah mengejar kematian tanpa kita sadari. Dan jika saja disinkronkan maka akan kita simpulkan pula bahwa “mengejar kesempurnaan jelas mengejar kematian”. Selanjutnya menutup goresan saya ini, masih ada sebuah pertanyaan tak berarti yakni demikian: “HAI MANUSIA MAU KAU BUAT APA DAN BAGAIMANA HIDUPMU? DI SELANG WAKTU PENCARIAN TITIK KESEMPURNAANMU” S..E..L..A..M..A..T…. M..E..N..J..A..W..A..B..!!!!!!

“TIADA YANG SEMPURNA DI BUMI YANG SEMPURNA HANYA SANG ILAHI”

(Goresan Putera Gemini, 16 Feb 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline