Merambahnya kehadiran cafe dan restoran fast food di berbagai daerah perkotaan di Indonesia saat ini, didorong oleh perkembangan budaya eating out atau makan diluar. Budaya ini merupakan bagian dari youth culture yang kini tengah digandrungi oleh anak muda gaul perkotaan. Mungkin Eating out ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah "nongki cantik" atau "nongkrong." Biasanya anak muda nongkrong di restoran atau cafe akan mengabadikan aktivitasnya melalui foto yang disertai dengan teks atau video pendek yang nantinya akan diunggah dan dibagikan melalui media sosial pribadi, mereka biasa menyebut ini dengan istilah "kebutuhan konten".
Milenial kota pada umumnya memiliki karakter yang senang diperhatikan, maka kegiatan nongki cantik semacam ini tentu akan dimaknai sebagai salah satu kebutuhan diri untuk mengekspresikan identitasnya sebagai anak muda di ruang sosial yang tengah bergeser ke sistem yang serba digital. Ruang digital dalam media sosial bergeser fungsinya, dari yang awalnya difungsikan sebagai wahana untuk berjejaring kini menjadi portal pameran virtual kebahagiaan yang direpresentasikan secara simbolik melalui konsumsi yang diabadikan lewat foto atau video di tempat-tempat yang dianggap prestigious.
Sebuah tempat makan bisa dimaknai sebagai simbol prestigious jika memenuhi beberapa kriteria diantaranya :
- Brand tempat makan tersebut kenamaan dari luar negeri
- Desain interior yang dibuat kekinian, cozy (dengan segala fasilitasnya yang menunjang mulai dari colokan, wifi, sofa, kursi kayu minimalis, tersedia ruangan indoor atau outdor, dan AC), dan instagramable.
- Letaknya yang strategis atau ditengah kota
- Standar harga dari produknya terhitung cukup terjangkau kalangan milenial (millennials friendly)
- Dsb.
Media sosial dan karakter masyarakat muda urban merupakan dua kombinasi yang kawin dalam menumbuhkembangkan budaya eating out. Media sosial dalam fenomena ini tanpa disadari telah menjadi alat sosialisasi dan promosi bisnis para kapitalis secara gratis yang dilakukan oleh anak muda melalui kompetisi ajang pamer di media sosial pribadinya.
Sebelum lebih jauh membahas budaya eating out, ada baiknya untuk berkenalan salah tokoh kritis dari sosiologi kebudayaan yaitu Herbert Marcuse untuk menjelaskan lebih dalam fenomena budaya eating out ini. Menurut Marcuse kehidupan kita saat ini merupakan era spat kapitalismus atau era kapitalisme lanjutan. Di era ini masyarakat yang berasal dari lapisan bawah akan di dorong menjadi kelas menengah melalui sistem standardisasi upah melalui penetapan UMR (Upah Minimum Regional). Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agar masyarakat yang berada di lapisan tersebut dapat mengonsumsi produk (merek, brand) dan akses hiburan yang sebelumnya juga dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Keadaan ini berbeda dengan era kapitalisme klasik dimana masyarakat yang berada di lapisan bawah, justru ruang gerak dan ruang ekspresinya dibatasi berdasarkan kategorisasi antara standardisasi budaya low culture dan high culture (Saeng, 2012). Dalam era spat-kapitalismus pengkotakan ini mengalami gradasi yang sangat kontras, karena masyarakat kelas bawah dikondisikan sedemikian rupa untuk menjadi konsumen tetap para kapitalis.
Pada era ini Marcuse melanjutkan bahwa para konsumen tetap kapitalis ini mengalami Desublimasi Represi. Desublimasi Represi adalah suatu keadaan dimana kelompok masyarakat yang tertindas tetapi tidak merasa ditindas. Bentuk penindasan ini bisa ditelah dari pengkondisian dimana masyarakat kelas bawah dinaikkan upahnya dengan standar UMR (Upah Minimum Regional) menjadi masyarakat kelas menengah. Masyarakat yang berada di lapisan ini merupakan para pekerja yang didominasi oleh masyarakat usia muda dan mayoritas lanskapnya berada di perkotaan, yang menopang produksi kapitalis sekaligus konsumen tetap dari produk mereka. Siklus ini dibuat lewat sistem yang memaksa dan mengondisikan masyarakat pekerja usia muda perkotaan dalam keadaan yang demikian. Desublimasi Represi yang dialami oleh kita semua terjadi karena era spat kapitalismus yang menjejali fantasi kita semua dengan nilai-nilai kebebasan atau independensi yang semu.
Teori Marcuse sejalan dengan budaya eating out yang berkembang di tengah anak muda kota. Ruang terbuka hijau yang minim di perkotaan memaksa masyarakat urban untuk mengisi waktu luangnya dengan mengunjungi dan menghabiskan uangnya di tempat-tempat yang dibuat oleh para kapitalis seperti mall, cafe, restoran cepat saji, dsb.
Representasi ruang yang dibuat oleh para kapitalis dibuat sedemikian rupa nyamannya melalui dekorasi interior yang indah yang membuat konsumennya merekonstruksi makna bahwa tempat tersebut merupakan simbol dari prestigious. Budaya eating out pada dasarnya merupakan representasi dari kultur kehidupan modern yang identik dengan kapitalisme yang telah menggeser orientasi konsumsi masyarakat dari yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan semata kini bergeser menjadi kebutuhan untuk memenuhi "gaya hidup" melalui simbol (merek, brand, dst). Budaya eating out merupakan wujud nyata dari konsumsi simbolik yang pernah disinggung oleh Jean Bouldriad. Konsumsi simbol ini kemudian menciptakan "spectacle society" atau masyarakat tontonan (Fransiskus, 2018). Kehidupan di tengah society jenis ini membuat masyarakat yang saling menonton simbol yang dikonsumsinya.
Media sosial yang menjadi ajang pamer budaya eating out anak muda kota semacam inilah yang dimaksud dengan spectacle society. Dimana lewat unggahannya di media sosial masyarakat dunia maya yang didominasi oleh masyarakat usia muda saling mempertontonkan simbol yang mereka konsumsi lewat unggahan foto dan video pendek.
DAFTAR PUSTAKA