Ketika membaca kisah pilu Nur Rizka Fitri, air mata pun meleleh perlahan dan sesak terasa ditenggorokan. Bagaimana tidak, sebagai seorang perempuan yang pernah mengenyam pendidikan tinggi dan kini menjadi seorang pendidik di perguruan tinggi, tentunya kisah Rizka sangat disayangkan.
Meski lulusan sarjana dalam berbagai survei menyatakan banyak yang menganggur karena sengitnya persaingan di dunia kerja, apalagi saat ini peran karyawan banyak digantikan oleh robot/AI, namun pendidikan tinggi masih menjadi 'privilege' tersendiri dalam rangka meningkatkan status sosial, pengetahuan dan wawasan, serta lingkungan yang lebih luas. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi terdapat 9,544,383 mahasiswa di seluruh Indonesia.
Dimana masih terdapat 1,9 juta lulusan SMA yang belum bisa kuliah tiap tahunnya. Hingga sensus 2020, hanya terdapat 8.5 persen penduduk Indonesia tamat kuliah. Baca: Hasil Sesnsus 2020 Hanya 85 Persen Penduduk Indonesia Tamat Kuliah
Hal ini menunjukkan, pendidikan tinggi masih jauh dari jangkauan para generasi muda di Indonesia. Meski dengan adanya era digitalisasi saat ini semakin memudahkan masyarakat untuk memperoleh pengetahuan melalui media sosial dan berbagai platform berbasis digital, tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan SDM dalam negeri masih memprioritaskan lulusan dari perguruan tinggi. Kondisi perekonomian memang acapkali menjadi alasan utama untuk tidak melanjutkan kuliah hingga putus kuliah.
Padahal, negara telah memfasilitasi berbagai program beasiswa dari bidik misi, kartu indonesia pintar, beasiswa prestasi akademik, beasiswa bidik misi ongoing, bantuan UKT/SPP, hingga bantuan bagi difabel. Namun, fasilitas tersebut belum cukup mengakomodir keseluruhan pelajar yang ingin melanjutkan kuliah atau yang sedang berkuliah.
Meski demikian, kebutuhan kuliah serta biaya hidup di kota perantauan juga cukup menguras kantong, sehingga meski mendapatkan beasiswa secara penuh, terkadang mahasiswa masih harus hidup 'ngos-ngosan'.
Selain itu, pada dasarnya informasi akan beasiswa terkadang tidak terdistribusi dengan baik. Meski saat ini informasi beasiswa tersebut mudah diakses melalui laman kemendikbud, namun pelajar masih kebingungan untuk melakukan tindak lanjut proses pengajuan beasiswa tersebut.
Rangkaian administrasi yang 'gampang-gampang sulit' memang sudah cerita klasik dalam setiap pengurusan birokrasi. Terlebih bagi sebagian besar masyarakat yang belum terbiasa pengurusan administrasi melalui sistem aplikasi /secara daring.
Apalagi jika hal tersebut dihadapkan pada pelajar yang belum lulus SMA atau mahasiswa yang sedang tempuh kuliah. Tanpa bimbingan dan arahan dari pihak sekolah atau pihak kampus, sulit rasanya memperoleh kesempatan beasiswa tersebut. Terkadang, pihak sekolah maupun kampus sendiri selaku penyelenggara juga kesulitan memahami ataupun membantu proses pengajuan beasiswa tersebut secara teknis. Meski biasanya diadakan sosialisasi terkait adanya beasiswa -beasiswa yang tersedia.
Diperlukan upaya keras baik bagi penyelenggara pendidikan selaku fasilitator dalam mengakomodir kebutuhan pelajar/mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa dan pemerintah dalam memberikan anggaran lebih besar untuk pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H