Sabda Nabi Muhammad SAW tentang, "Tiap-tiap manusia itu pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban" (HR.Ibnu Umar RA). Arini Tathagati menyebutkan bahwa kemampuan untuk memimpin dibangun dari berbagai keterampilan yang bisa dipelajari, dilatih dan dikembangkan. Dibutuhkan pemimpin yang adaptif, fleksibel, dan inovatif dan diharapkan dapat bertindak sebagai katalis perubahan, yang mana semua itu membutuhkan teladan tepat dan menginspirasi secara menyeluruh.
Dalam menghadapi globalisasi teknologi digital, perkembangan politik, pergeseran norma dan dinamika kondisi internasional, diperlukan kepemimpinan profetik. Konsepsi kepemimpinan profetik menurut Jawahir Thontowi yakni pengetahuan dimana pengalaman yang dimiliki para nabi yang tertera dalam kitab suci, penggunaan SDM dan SDA untuk merubah umat dari masa kegelapan menuju pada cahaya, kebahagiaan melalui berbagai kemampuan dan keterampilan serta keteladanan sebagai warisan nilai-nilai universal untuk generasi berikutnya.
Dibalik kisah sukses nabi-nabi yang membawa kebaikan, kebenaran dan melawan kemaksiatan, tidak terlepas dari pribadi mulia para nabi itu sendiri yang mampu mengorganisir pengikutnya. Selain itu, para nabi dari sudut tingkah laku dan prinsip hidup serta hubungan dengan kaumnya, merupakan didikan atau bersumber langsung melalui wahyu Tuhan atau biasa disebut dengan sumber dari hukum Tuhan. Kemurnian ajarannya tidak terpengaruh oleh aliran atau mazhab apapun, karena referensi para nabi merujuk dari ajaran-ajaran Tuhan. Pada semua aspek ajaran Tuhan baik memuat nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan serta norma hukum yang universal.
Nabi hanyalah model atau alat peraga dari nilai-nilai yang tercantum dalam kitab suci serta apa yang diwahyukan olehNya. Karena nabi secara fisik dan wujud merupakan manusia yang mana akan menyampaikan pesan Tuhan kepada sesama manusia. Pesan Tuhan tidaklah mungkin disampaikan hanya oleh manusia yang sedari awal ialah perusak, berperingai kasar, pemabuk, penjudi, dan hidupnya tercela. Sebelum para nabi diangkat menjadi nabi, mereka hanyalah manusia biasa yang sama dengan yang lain dengan segala keterbatasan sebagai manusia. Yang membedakan saat itu ialah, calon nabi terlahir dan tumbuh menjadi sosok yang lebih berkharisma dengan kesopanan, kejujuran, kedermawanan, keberanian dan kesederhanaan. Lalu ketika menjadi seorang nabi, ia memiliki mukjizat-mukjizat serta kelebihan mengemban amanah sebagai penyampai wahyu Tuhan.
Nabi Ibrahim misalnya, seorang yang kritis terlihat dari keberaniannya dalam menanyakan hakikat Tuhan kepada kedua orangtuanya kemudian menantang raja Namrud dan pengikutnya terkait hancurnya berhala-berhala kecil terhadap berhala besar. Nabi Ibrahim juga cerdas, terbukti dari jawaban yang diberikan saat Namrud bertanya mengenai kebesaran Tuhan. Kegigihannya dalam menyatakan kebenaran tanpa rasa takut dan siap menanggung resiko. Dia harus mengalami hukuman dalam kobaran api. Pengorbanan Nabi Ibrahim yang kemudian menjadi bapak para nabi dan pemimpin umat dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Kisah kesabaran dan kepatuhan pada Tuhannya sebagai sumber kebenaran dan kebaikan tidak terbantahkan. Ia harus terpisah dari istrinya, Hajar dan buah hati pertamanya yakni Ismail di tanah Makkah yang gersang tak berpenghuni. Tak terhenti disitu,setelah bertahun-tahun terpisah dari anak dan istrinya, ketika berjumpa, Ibrahimpun diharuskan pada dilema untuk menyembelih anaknya, Ismail. Penyembelihan ini nampak ekstrim untuk dilakukan. Akan tetapi, perintah itu bukanlah tanpa alasan. Hal ini hanya ingin menguji seberapa loyal Ibrahim kepada Tuhannya daripada kecintaan kepada sang anak. Bagi seorang nabi Ibrahim, apapun di dunia ini hanyalah titipan. Sehingga, prinsip ini sangatlah penting ketika mengemban suatu amanah. Pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip bahwa semua merupakan titipan, ia akan sangat berhati-hati melaksanakan tugas tersebut. Hal ini tak lain kesadaran penuh akan pertanggung jawaban yang harus dilakukan kelak. Nabi Ibrahim pula yang membangun Ka'bah sebagai kiblat umat muslim hingga akhir zaman.
Penting bagi generasi penerus untuk meneladani dan mengilhami sikap dan sifat baik para nabi tidak sekedar manusia pilihan Tuhan, namun sebagai role model pemimpin dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat di segala zaman. Terlebih lagi, Indonesia sebagai negara berKetuhanan Yang Maha Esa dan menempatkan nilai-nilai religius sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H