Lihat ke Halaman Asli

Spunner

Diperbarui: 9 Februari 2023   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                                    SPUNNER

Turun di perempatan lelaki oriental dengan mantel coklat gerimis hujan basahi bahu di matelnya. Berjalan menyebrangi jalan raya menyalakan api membakar rokoknya ditengah pulau jalan berjalan tenang kepinggir trotoar. Jalanan basah muncrat dilangkah kaki. Dia menjauhi kerumunan berbelok ke gang untuk bertukar buah tangan dengan temannya dan melangkah pergi keluar dari gang. Pikirannya kali ini menuntunnya ke sebuah rumah terbengkali sekujur tembok dipenuhi daun menjalar hingga genteng bagunan tua. 

Setiba ditempat terbengkali itu seorang pria dan dua teman wanita paru bayanya sedang menghangatkan badan dengan perapian memakai tong bekas diteras bangunan. Ketiga orang tersebut dilewatinya tanpa bertegur sapa, melewati pintu dikanannya merupakan dapur dan beberapa meja yang tersusun seperti bar dan banyak orang sedang bercakap -- cakap tentang perkembangan teknologi yang sangat cepat membantu peradaban, dan tentu saja percakapan itu berlangsung ketika sedang asik menenggak whiskey lokal dan didorong sedikit kurtak dan beberapa penenang lainnya untuk menjaga ketidaksadaran mereka dalam memandang kesadaran semu yang terjadi pada perilaku sosial masyarakat. 

Dia tidak mau terlibat dalam hegemoni para pecandu, dan memilih bersadar di balik bangun yang belakangnya memilik kolam renang yang tak terisi air lantaran pdam telah memutus meteran rumah kosong itu dan bahkan PLN juga telah bertahun yang lalu memutuskan aliran listrik ditempat itu dan para pelancong yang sedang berada disana sudah siap dengan perbekalannya seperti lilin, head lamp, ada pula lapu baca yang berdaya baterai.

Dia maju 6 langkah duduk ditepi kolam dan membuka bungkusan yang diberikan temannya tadi, menuangkannya ke timah rokok dan menghisapnya dalam pikirannya dalam 6 shoot tarikan nafasnya dia pun menengadah kelangit kedua tangannya bersandar kesebeah pinggang lalu memikirkan tentang apa gerak tubuh seseorang dengan hal kecil pada tiap pergerakan menandakan rasa yang dialami orang tersebut. 

Dia mencoba bersila meletakkan kedua telapak tangan pada lututnya dan berfikir apabila jariku menyentuh dahu atau sekalipun menggaruk janggut dianggap sedang berfikir akan suatu hal, apabila kuku jariku menggaruk ubun ubun kepala dianggap seperti kebingungan, padahal ada juga mereka menggaruk kepala dikarenakan gatal semisal kepedasan.

Belum selesai apa yang dipikirkannya dia berdiri meninggalkan kolam dan berjalan tenang ketempat perapian yang berada di teras, disana menyisakan dua orang wanita paruhbaya yang tadi tapi kali ini seorang pria yang edari tadi bersama mereka pergi. Dia bertanya pada kedua wanita itu kemana perginya teman lelaki mereka itu, wanita yang mengenakan hoodie hitam ditutupi jaket kulit dengan rambut bobnya dan kacamata bergagang leopard menyampaikan temannya sudah pergi dengan motor TS nya menuju studio rekaman. 

Wanita itu kembali bertanya apa kau mengenalinya? Dia pun menjawab tidak namun rambut kribonya tidak asing baginya. Dia bertanya kepada wanita yang satunya lagi memakai jaket parka lengkap dengan emblem yang berorientasi tentang feminisme, apakah lelaki kribo itu seorang musisi? Dia dengan bandnya,  sedang menggarap musik gospel blues dengan lirik realita sosial single nya sih tentang korban jugun ianfu. Kalian dekat dengan dia, tanya pria itu, kami berada dalam satu kelompok jawab wanita wanita itu. 

Sebenarnya bisa dibilang kelompok karena kami memberi nama sebagai identitas kami, nama apa? rat race hahahaha itulah nama kelompok serentak jawab keduanya. Dia rekaman dimana? studio oolong yang dibelakang tembok kampus hijau. Aku bekerja disitu sebagai operator studio, mungkin sekali waktu aku bertemu mereka katanya pria itu sambil pergi setelah menghangatkan badannya.

Ketika melewati pagar berkarat yang bagian engselnya telah copot sehingga pagar tidak dapat dibuka lebih dari setengah meter, wanita dengan kacamata leopard itu berteriak menanyakan nama pria itu yang dijawabnya dengan suara sengaunya "aku lodi" kau siapa tanya pria itu membalas, aku cici dan dia kika menunjuk teman wanita disebelahnya, oke sampai ketemu kata lodi dan sebelum meninggalkan rumah kosong itu lodi berteriak kepada kika "hei kika apa kau pikir feminisme memperjuangkan equality gender atau hanya memperjuangkan kaum wanita semata? tentu equality, yeah sekarang kebanyakan paham itu hanya sebagai pembalasan dendam kaum hawa saja atas peristiwa lampau, yeah nevermind the bollocks jawab kika yang tertawa.

Lodi berjalan ke timur menuju daihatsu hijet 1997 berwarna biru tua miliknya. Setelah membuka pintu tengah mobil ia masuk dan langsung menindih kasur tangannya mengambil walkman dan kaset nin album pretty hate machine yang berada dilaci atas kasurnya, kemudia memasang headset ditelingnya dan menghajar tombol play dan memulai gerakan mengikuti tempo musik. Dalam baringnya lamunannya menjelajah dari satu tempat pindah ketempat lain melewati berbagai peristiwa menawarkan ide dan gagasan hingga semakin lelap lalu lenyap dalam dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline