Lihat ke Halaman Asli

Niken Satyawati

TERVERIFIKASI

Ibu biasa

Guru Bangsa Itu Telah Pergi

Diperbarui: 28 Mei 2022   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buya Syafii Maarif (credit foto: Antara)

Indonesia berduka. Seorang guru bangsa telah tiada. Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii. Tokoh yang sangat disayangi dan dihormati oleh kita semua. Seorang ulama besar, cendekiawan, tokoh yang pernah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Buya Syafii meninggal pada hari Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.00 WIB di RS PKU Gamping, Yogyakarta. Tak dipungkiri, Buya memang sudah sepuh. Tapi tetap saja kita nyesek kehilangannya. Pemberitaan media didominasi oleh wafatnya tokoh besar moderat ini. Laman media sosial pun riuh dengan ucapan belasungkawa dan ungkapan kehilangan.

Tentu saja. Karena Buya Syafii bukan tokoh sembarangan. Pandangan dan pikirannya selalu jernih. Buya adalah cahaya terang bagi bangsa ini. Teladan bagi semua orang. Sosok yang petuahnya  sejuk dan selalu dinantikan. Buya selalu mengingatkan arti penting kehidupan dalam keberagaman dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Itu kenapa beliau mendirikan Maarif Institut, sebuah NGO yang konsisten dalam misi menyemai perdamaian.

Buya Syafii yang lahir di Nagari Calau, Sampur Kudus, Minangkabau 31 Mei 1935, adalah tokoh besar yang sangat bersahaja. Buya adalah tokoh nasional yang begitu membumi. Hidup Buya jauh dari kesan hedon--yang jamak terjadi pada tokoh-tokoh Indonesia lainnya. Hidupnya lurus sebagai panutan. Tak pernah dia pamer harta, mobil dan tak merasa perlu ganti istri yang milenial jelita. Buya tak tertarik dengan keduniaan. Buya sudah selesai dengan dirinya...

Buya di usia belia hijrah ke Jawa dan sekolah di Madrasah Muallimin Yogya. Kemudian kuliah di Universitas Cokroaminoto Surakarta dan IKIP Jogja sambil aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lalu  lanjut program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio dan program doktor di  Universitas Chicago, AS.

Pernah menjadi guru honorer di Baturetno Wonogiri dan Solo, pernah juga dagang ini-itu kecil-kecilan. Buya kemudian menjadi wartawan  "Suara Muhammadiyah", majalah yang diterbitkan PP Muhammadiyah. Setelahnya dia mengabdikan diri di persyarikatan dengan terpilih sebagai  Ketua Umum PP Muhammadiyah. Tidak hanya satu periode melainkan dua periode. Pada periode 1998-2002 melalui Sidang tanwir dan Rapat Pleno Pimpinan dan periode 2002-2005 melalui Muktamar ke-44.


Tempat tinggal Buya di perkampungan biasa, termasuk sederhana. Di usia tua, kemana-mana dia tetap memilih bersepeda. Kalau jauh menumpang angkutan massal yang ada. Saat periksa ke dokter, dia menolak didahulukan. Memilih antre mengikuti urutan kedatangan seperti pasien lainnya.


Suatu ketika, Buya Syafii diundang untuk mengikuti acara peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Ibukota. Buya menolak dijemput panitia dengan menggunakan mobil. Dia memilih menumpang KRL ditemani oleh keponakannya.


Kisah lain di sebuah acara di sekolah Muallimat, Buya menjadi narasumber. Saat datang dan sehabis acara Buya menolak diantar mobil. Malah menumpang angkutan umum. Buya cukup diantar ke jalan raya mencegat angkutan itu oleh panitia. Panitia yang mengantarnya sambil hujan-hujanan dengan motor, menuliskan kisah itu di Twitter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline