Sejak kecil saya dan kakak-adik suka membaca. Saya mengenal Hilman Hariwijaya dari majalah "Hai" pinjeman. Serial Lupus yang ditulis Hilman harus diakui bikin gempar. Anak lapanpuluhan mana yang nggak kenal Lupus? Bersyukurnya saya punya tetangga yang hampir tiap hari beli majalah atau buku. Kami suka baca sama-sama di rumahnya. Begitu datang "Hai" baru, yang dibaca pertama kali adalah "Lupus".
Ketika karya-karya Hilman akhirnya dibukukan, kami pun membelinya. Hampir semua judul kami punya. Begitu buku diterbitkan, saya atau kakak saya pergi ke Toko Sekawan atau Budi Laksana, beli buku Lupus. Waktu itu Gramedia belum ada di Solo.
Saya masih ingat buku Lupus yang kami beli adalah yang kedua, judulnya "Cinta Olimpiade". Lalu beli lagi "Makhluk Manis dalam Bis". Lalu beli judul-judul lainnya, kumpulan cerita Lupus dewasa maupun "Lupus Kecil".
Lupus adalah idola. Lupus simbol remaja yang merdeka apa-adanya. Gayanya santai, tak terbebani dengan apapun. Anak yang tak butuh les dan tak punya rasa takut kalau nggak dapat rangking.
Tak hanya saya. Kawan-kawan SMP saya pun banyak yang mengidolakannya. Ada yang gayanya setiap hari seperti Lupus. Rambut gondrong dengan jambul tak beraturan, niup permen karet di mana-mana. Bahagia bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Saat difilmkan, Lupusnya jadi ganteng setengah mati. Diperankan Ryan Hidayat, cowok terganteng pada zamannya. Si makhluk manis dalam bis, diperankan Karlina Suwandi yang cantiknya masya Allah.
Ketika remaja lapanpuluhan dilambungkan dengan khayalan tentang pemuda tampan kaya raya dalam kisah "Catatan Si Boy", Hilman menghadirkan Lupus sebagai oase. Gaya menulisnya yang begitu renyah menghadirkan kisah yang memotret kehidupan sehari-hari namun penuh kehangatan yang membumi.
Ketika saya awal jadi wartawan, saya hadir di acara diskusi buku di mana Kak Hilman narasumbernya. Saya sempat mengobrol dan foto bareng dia. Orangnya sederhana, lebih pendiam daripada bayangan saya.
Hari ini ketika saya dengar Hilman berpulang, saya sangat sedih.