[caption id="attachment_227986" align="aligncenter" width="480" caption="Tulisan tangan Diego yang disebarkan melalui Twitter oleh agennya di Indonesia, Wulansari."][/caption] Pulang, bertemu keluarga. Hanya itu keinginan Diego Mendieta. Diego sangat rindu kepada mamanya. Dia juga kangen berat sama istri dan anak-anaknya, Cielo dan Gaston. Namun sebelum rindu terlampiaskan, Diego Mendieta, pemain bola Persis Solo asal Paraguay, keburu meninggal di RS Dr Moewardi, Selasa (4/12/2012) dini hari. Kerinduan hanya tinggal kerinduan. Kangen hanya bisa dipendam, karena klub tempat dia terakhir bermain, Persis Solo, tak kunjung memberikan haknya berupa gaji, yang sudah tertunggak hingga 4 bulan. Ditambah unag muka kontrak yang juga belum dibayarkan, jumlah total hak Diego sebenarnya "hanya" Rp 131 juta. Kekisruhan di tubuh Persis sebagai buntut kisruh persepakbolaan nasional, membuat gaji semua pemain tak terbayar. Karena gaji tak dibayar, Diego tak bisa membeli tiket pesawat untuk pulang, dan melepas rindu kepada orang-orang tercinta. Jangankan uang. Untuk makan, bayar kos dan berobat pun tak ada. Untuk sekadar bertahan hidup, Diego sempat main di turnamen bola amatir kelas Tarkam (antar kampung) yang satu putaran bayarannya hanya ratusan ribu rupiah. Nasib Diego terlunta-lunta di negeri orang, jatuh sakit dan menjemput ajal dalam keadaan tak selayaknya seorang pemain bola pro. Tragis memang. Kerinduan Diego pada keluarga pun akhirnya hanya dilampiaskan dalam tulisan. Tulisan tangan dalam selembar kertas yang ditemukan di kamar kosnya, diunggah melalui twitter @wulansari_jav oleh Wulansari, pemilik PT Javindo Sari Tama Agency Management, agen FIFA yang menjadi perantara Diego sehingga bisa bermain di klub-klub di Indonesia. Perempuan ini tampak begitu sedih ketika saya melihatnya di Ruang Jenazah RS Moewardi. Dia setia di dekat jenazah Diego saat di RS, saat disemayamkan di Rumah Duka Tiong Ting hingga diberangkatkan ke Paraguay dari Bandara Adi Soemarmo Solo. Jauh dari keluarga, Diego memang tak punya tempat mengadu. Diego hanya bisa curhat kepada Tuhan. Tulisan dalam bahasa Spanyol yang fotonya ada di atas itu, atas bantuan rekan dari Kompasianer dengan akun Melati (melalui komennya di bawah, thanks buat beliau), kira-kira terjemahannya begini: Tuhanku, terima kasih untuk segalanya Ampuni dosaku, Tuhan Aku membutuhkan-Mu, Dalam balutan jas indah ini-yang diberikan oleh keluargaku Aku memohon Berkahilah teman-temanku Dan keluarga saya selalu Tak perlu ahli jiwa atau psikolog untuk menilai ada apa di balik kata-kata yang tertulis. Diego sangat rindu keluarganya, hingga sengaja mengenakan pakaian yang diberikan keluarga untuk sekadar melepas rindu . Dia juga sangat menghargai teman-temannya. Jelas sekali pula, tulisan itu menunjukkan Diego seperti telah punya firasat bahwa hidupnya tak lama lagi. Hingga dia berada dalam tingkat kepasrahan yang begitu tinggi, disebabkan keputusasaannya untuk mendapatkan kemungkinan pulang dan bertemu keluarga. Keinginan pulang ini selalu diungkapkan Diego, hingga sehari sebelum dia meninggal. Dalam keadaan sekarat, Diego didampingi kawan-kawan suporter Solo, Pasoepati dan beberapa wartawan. Di kamar perawatan RS Dr Moewardi, kepada sahabat saya yang seorang wartawan olahraga lokal, Ponco, Diego masih sempat bertanya, "Kawan, kapan gajian?" Ponco cukup dekat dengan Diego. Dia mengawal pemberitaan tentang nasib Diego sejak awal dia sakit, di antaranya untuk mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab agar segera membayar gajinya, sehingga Diego bisa pulang melepas rindu. [caption id="attachment_227994" align="aligncenter" width="476" caption="Kawan-kawan Pasoepati menggalang dana untuk Diego. (foto dari Bole.Net)"]
[/caption] Kawan-kawan yang mendampingi Diego di saat-saat terakhir yang sangat berjasa tentu saja para suporter yang tergabung di organisasi Pasoepati. Kawan-kawan silih berganti datang ke kos Diego sekadar mengantar makanan. Saat sakit, Pasoepati sempat menggalang dana guna membayar biaya berobat Diego, melalui acara nonton bareng Piala AFF di Pagelaran Keraton Solo. Kawan-kawan pasoepati juga terus berada di dekat jenazah hingga saat peti berisi Diego diterbangkan dari Bandara Solo. Hingga beberapa hari setelah Diego meninggal, kawan-kawan masih menggalang dana untuk melunasi utang-utang Diego di rumah kosnya serta beberapa tempat makan. Dengan terbayarnya utang itu, kawan-kawan Pasoepati berharap arwah Diego tenang. Bagi kawan-kawan Pasoepati, Diego sangat berjasa. Walau gaji belum dibayar, dia tetap bersemangat latihan dan bermain, sehingga banyak menghasilkan gol untuk Persis. Dia juga dikenal sebagai pribadi yang baik dan taat beribadah. Diego yang tidak doyan makanan Indonesia, suka minum susu segar dan makan spageti serta ayam goreng. Di warung susu, ayam dan spageti inilah dia punya utang.
[caption id="attachment_227995" align="aligncenter" width="538" caption="Wulansari memeluk peti jenazah Diego di Rumah Duka Tiong Ting. (foto: Liputan6.com)"]
[/caption]
Diego akhirnya memang pulang. Pulang ke Paraguay. Dia kembali dalam pelukan mamanya, istri dan anak-anaknya. Namun dalam situasi yang sangat berbeda, sebuah reuni keluarga dan cara melepas kangen yang tak diharapkan semua orang. Gaji pun telah dibayarkan.
Tuhan begitu menyayanginya. Hingga Dia begitu cepat memanggil Diego. Dan beginilah cara Tuhan memenuhi keinginan Diego untuk pulang ke tanah tumpah darahnya, Paraguay. Begini cara Tuhan agar tak hanya gaji Diego, tapi juga hak semua pemain ikut dibayarkan. Diego benar-benar menjadi pahlawan dalam tiadanya.
[caption id="attachment_227998" align="aligncenter" width="300" caption="Diego Mendieta. (foto dari fans page di Facebook) "]
[/caption]
Selamat jalan, Diego!
Tuhan menyayangimu, kawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H