[caption id="attachment_323154" align="aligncenter" width="444" caption="Foto: Kompas.com"][/caption] Saya kaget membaca berita di berbagai media, Senin (17/2) sore ini. Anggito Abimanyu akhirnya mengajukan pengunduran diri kepada Universitas Gadjah Mada (UGM), institusi di mana dia membangun karir dan mengabdi selama ini sebagai dosen. Hal ini terkait dengan kasus plagiat yang dituduhkan kepadanya. Sebenarnya bagi saya, belum jelas benar duduk persoalan Anggito ini. Saya kira publik juga masih menunggu klarifikasi dari Anggito langsung, karena ini menyangkut reputasinya sebagai orang yang multijabatan. Apakah ini karena kelalaiannya? Apakah karena salah kirim file? Apakah karena keteledoran asistennya? Apakah karena hal lain? Sebab memang plagiarisme merupakan tindakan tak terampunkan dalam jagat intelektual, khususnya dunia penulisan. Sangat sayang bila ini membuat reputasi Anggito yang bagus selama ini, hancur begitu saja. Well.... Kita masih menunggu. Terlepas dari semua itu, sebagai eksredaktur elek-elekan di sebuah media massa lokal Solo, saya ingin berbagi sedikit hal-hal yang perlu diketahui penulis opini, karena sepanjang saya bekerja dulu (sekarang saya sudah resign), masih saja ada hal-hal yang kelihatannya sepele, namun sebenarnya itu penting dan tak diperhatikan oleh para penulis opini yang memasukkan tulisan untuk tujuan tayang di media massa. 1. Penulis opini hendaknya mengirimkan karya yang idenya orisinil, baru, syukur-syukur sama sekali belum pernah ada ide serupa sepanjang sejarah, dan perpaduan antara: menarik, bermanfaat, aktual dan inspiratif. Kayak kategori di Kompasiana ya? 2. Penulis opini boleh meng-copy-paste kata-kata mutiara, kutipan berita, namun sifatnya hanya sebagai titik tolak tulisan (news peg) dengan mengutip sumber aslinya, dan panjangnya sedapat mungkin jangan sampai lebih dari 3 kalimat. 3. Penulis opini jangan sampai mengirimkan karya yang sama ke beberapa media sekaligus. Setiap media dituntut untuk menyajikan informasi yang eksklusif. Bila sampai ada tulisan yang sama di dua media berbeda, penulis biasanya akan kena sanksi. Bisa di-black list selamanya oleh media yang memuat, bisa juga sementara. Penulis harus tahu ini. 4. Penulis opini boleh mencabut tulisan yang sudah dia kirim ke sebuah media. Hubungi saja redaksi melalui telepon. Atau kalau memang sudah kenal dengan redaktur, hubungi sang redaktur langsung atau via email, bila naskah Anda tidak kunjung dimuat oleh redaksi, padahal Anda merasa akan layak muat bila dialihkan ke media lain. Hal ini cara terbaik untuk menghindari kemungkinan dobel pemuatan sehingga tidak mengalami nasib fatal, di-blacklist dari media. 5. Penulis opini hendaknya mengirimkan tulisan dengan jumlah karakter (huruf) yang kira-kira pas atau dilebihkan sedikit dari jumlah karakter yang bisa masuk pada ukuran space halaman opini. Kalau untuk Kompas, kira-kira tulisan yang dimuat antara 6.000-8.000 karakter. Untuk media massa lokal, biasanya jumlah karakternya lebih sedikit. Redaktur, bila mendapati dua tulisan dengan kualitas sama, akan memilih tulisan yang karakternya mendekati pas dengan space dibanding harus meminta penulisnya menambahi atau memotong tulisan. 6. Penulis opini sedapat mungkin hendaknya tidak menggunakan jasa ghost writer. Berbeda dari buku, tulisan opini untuk media sifatnya sangat personal, menunjukkan karakter penulis. Redaktur dan pembaca yang sudah sering membaca tulisan penulis yang telah lama bergelut di dunia penulisan, akan bisa mengenali tulisan dari pemilihan diksi dan hal kecil lainnya. 7. Redaktur adalah manusia biasa. Bisa lalai dan khilaf juga. Oleh karena itu hendaknya penulis sendiri yang memegang kaidah-kaidah tak tertulis di dunia kepenulisan. Demikian catatan dari saya hari ini. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H