Joko Widodo (Jokowi) adalah "The Number One Public Enemy". Begitulah yang saya rasakan sejak pengumuman pencapresannya oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), 14 Maret 2014. Hampir tiap hari postingan bernada menyerang Jokowi diunggah di berbagai laman media sosial.Baik berupa tulisan panjang maupun tulisan pendek seperti status di Facebook atau Twitter.
Dari yang sekadar menyebutnya dengan sebutan yang diplesetkan, menyindir hingga yang terang-terangan. Dari yang sekadar mengolok-olok hingga mencemooh bahkan mendakwa selayaknya Jokowi seorang penjahat. Atau dengan modus sok mengamati, membandingkan gaya tulisan, tanda tangan atau hal kecil lainnya, membandingkannya dengan Capres lain, tapi kesimpulannya mengagung-agungkan Capres lain, dan sebaliknya melemahkan dan memperolok-olok Jokowi. Ada pula yang sangat yakin dengan sebuah informasi, padahal itu fitnah belaka.
Tak dipungkiri, mendekati Pilpres, memang seolah-olah media sosial menjadi ajang kampanye hitam yang efektif. Begitu mudahnya orang menyebarkan informasi sumir, mendramatisasi dan memelintir fakta dan juga melancarkan fitnah. Kadang saya berpikir, bagaimana kalau olok-olok, cemoohan, fitnah dan dakwaan yang tidak pada tempatnya tertuju pada diri ataupun keluarga si pemosting tulisan itu? Apakah dia tidak sakit hati? Lantas apa yang akan dilakukannya?
Untunglah Jokowi yang dibegitukan. Tentu saja dia sebenarnya tak terima dengan semua itu. Namun dia tidak membalas. Tapi pencintanya, pendukungnya, relawannya sebagian ada yang diam karena tak mau terlibat polemik berkepanjangan, sedangkan sebagian lain tak mau tinggal diam. Kadang membalas karena terpancing emosi. Jadilah balas-membalas postingan dan komentar, dari yang sekadar nyinyir hingga teramat kejam.
Setelah PDIP resmi memperoleh suara terbanyak dalam Pileg, serangan semakin masif. Isu-isu negatif kembali diumbar, dilancarkan sama pendukung-pendukung Capres lain. Bahkan isu SARA yang cukup lama tertimbun isu lain, mulai diungkit-ungkit lagi. Mulai ada yang mempertanyakan lagi isu lama yang pernah dilontarkan Bang Haji Rhoma Irama, dari soal gelar “haji” Jokowi, Jokowi Kristen hingga ayahnya yang diisukan sebagai orang Tionghoa. Saya sendiri sebagai pendukung Jokowi sebenarnya malas mengklarifikasi isu basi ini. Sebentar… sebentar…. kalau Jokowi bukan haji dan bapaknya Tionghoa, namun mampu membuat perubahan yang baik saat menjadi pemimpin di negeri ini, emangnya kenapa?
Kebetulan saja saya tinggal di kawasan Solo. Saya kenal Pak Jokowi dan beberapa anggota keluarganya. Kebetulan adik ipar Jokowi atau tepatnya adik kandung Ibu Iriana adalah kawan saya di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret, Angkatan ’93. Sampai kini kami masih berteman baik. Dan sepupu Pak Jokowi adalah dokter anak di mana ketiga anak saya biasa melakukan imunisasi ataupun memeriksakan kesehatan. Jadi sedikit banyak saya tahu keluarga ini. Dan saya jamin:
1. Pak Jokowi muslim yang baik, sudah berhaji pada tahun 2003, dan umrah beberapa kali. Buktinya bukan foto yang bersama keluarganya di depan Kabah (yang menjadi ilustrasi tulisan Pak Gunawan), karena itu foto umrah tahun 2012. Banyak saksi yang masih hidup baik mengantar maupun terlibat dan bersilaturahmi sebelum berangkat ke Tanah Suci, dan sesudah kembali ke Tanah Air. Pak Jokowi ke Tanah Suci dengan ibunya dan juga beberapa anggota keluarga besar. Dokter yang membantu kesehatan anak-anak saya cerita. Berangkat berbarengan tahun saat rombongan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) yang saat itu masih ngetop dan belum kena masalah pasca poligami juga pergi berhaji (lagi). Rombongan Jokowi dan rombongan Aa Gym sempat berfoto bersama di sebuah hotel di Tanah Suci. Namum foto-foto itu sudah rusak.
Waktu itu Jokowi belum jadi Walikota Solo, tapi sudah tergolong keluarga berada. Jadi bisa bayar haji khusus tanpa harus memanfaatkan jabatan demi mengemis kepada Raja Arab Saudi atau Pangeran Yordania agar mendapat paket haji spesial.
Kalau ada yang mempertanyakan mana fotonya saat berhaji? Saya nggak punya, saya juga ragu keluarga Jokowi punya. Sebab keluarga itu termasuk keluarga yang lugu. Lagipula tahun itu untuk mendokumentasikan suatu momentum tidak semudah sekarang, di mana orang bisa kemana-mana bawa gadget yang dilengkapi kamera, selfi sana selfi sini, bahkan selfi beraroma riya’ di depan Kabah dan mengunggahnya saat itu juga.
Sebenarnya ada foto-foto yang disimpan di hard disk, sayang hard disk itu rusak, tak bisa dibuka. Lagian hal seperti ini kan urusan privat. Kenapa orang bisa sangat hebohnya mengurusi gelar haji Pak Jokowi?
2. Ayahanda Jokowi bernama Notomiharjo. Dia Jawa tulen walau matanya memang sipit. Panggilannya Pak Noto. Pak Noto ini anak seorang lurah di Kragan, Sragen, Jawa Tengah. Tak hanya ayah Pak Noto, keluarga besar Pak Noto kalau dibuat garis ke atas, banyak yang menjadi lurah di desanya. Pak Noto menikah dengan ibu Jokowi pada tahun 1960. Tahun 1961 lahirlah Jokowi. Mereka berdua berjualan kayu di Solo. Bu Noto buka lapak, Pak Noto yang mencari barang ke daerah Purwodadi hingga Cepu. Demikianlah orangtua Jokowi menghidupi anak-anaknya hingga menjadi orang. Pak Noto sempat sakit cukup lama, hingga akhirnya meninggal dunia pada tahun 2000.
Sayang, keluarga ini bukan keluarga narsis yang banyak memiliki dokumentasi foto keluarga. Ketika suatu hari kami mengunjungi Ibunda Jokowi dan menanyakan perihal dokumentasi foto Pak Noto, ibu Jokowi, Sujiatmi mengungkapkan, sebenarnya ada beberapa foto, tapi diminta wartawan atau orang-orang yang membuat buku tentang Jokowi. Mereka bilang foto-foto itu akan dikembalikan. Tapi ternyata tak kunjung kembali.
Semoga sekelumit tulisan ini bisa membantu menjawab rasa penasaran orang yang merasa berkepentingan dengan simpang siur gelar haji dan informasi tentang ayah Jokowi.
Solo, 20 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H