Lihat ke Halaman Asli

Early Marriage, Bagaimana dengan Komitmen Pemerintah di Tahun 2030?

Diperbarui: 5 September 2017   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Remaja merupakan kondisi peralihan dari anak menuju dewasa dimana terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, mental dan intelektual. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 adalah sebanyak 43,5 juta atau 18% dari total jumlah penduduk di Indonesia.

Sifat menonjol yang dimiliki oleh kelompok remaja adalah rasa ingin tahu yang besar dan belum bisa mempertimbangkan risiko dengan matang. Masa remaja sangat berkorelasi dengan kondisi interaksi dengan lawan jenis. Berdasarkan data situasi kesehatan reproduksi remaja bahwa proporsi terbesar berpacaran pertama kali yaitu pada usia 15-17 tahun.

Pada usia tersebut dikhawatirkan remaja belum bisa memiliki perilaku pacaran yang tidak sehat dan menimbulkan terjadinya hubungan seks pranikah. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai yaitu berdasarkan hasil SDKI tahun 2012 bahwa hanya 35.3% remaja perempuan dan 31.2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun yang mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. 

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mendata bahwa perempuan usia 10-54 tahun sedang hamil dan terdapat kehamilan pada usia sangat muda (<15 tahun) dengan proporsi yang kecil yaitu 0.02% dan terutama di perdesaan yaitu 0.03%.1 Prevalensi tertinggi berada di Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur.2 Proporsi kehamilan pada usia 15-19 tahun adalah 1.97% lebih tinggi di perdesaan dari pada di perkotaan.

Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs bahwa Indonesia termasuk negara ke-37 dengan presentase pernikahan muda yang tinggi dan tertinggi kedua setelah Kamboja di ASEAN.1 Di Indonesia batas legal pernikahan memiliki usia minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki. Selain itu, orang tua anak perempuan yang berusia dibawah 16 tahun dapat menikahkan anak perempuan mereka walau masih sangat muda dengan mengajukan permohonan kepada petugas untuk menikah atas keinginan orang tua mereka yang memiliki stigma tentang seks bebas, kemiskinan dan perempuan dewasa yang tidak menikah.2

Mengapa isu pernikahan dini menjadi penting? Salah satu topik yang penting adalah pada Sustainable Development Goals bahwa Pemerintah di seluruh dunia bersepakat untuk menghapus perkawinan anak pada tahun 2030. Pernikahan dini tanpa persiapan akan berdampak pada kesehatan perempuan seperti trauma seks berkelanjutan, perdarahan, keguguran dan bahkan kematian ibu saat melahirkan. 

Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, dan pikiran untuk bunuh diri. Selain itu, mereka tidak bisa menegosiasikan hubungan seks yang aman sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi menular seksual seperti HIV. 

Perempuan yang menikah usia dini juga akan kehilangan masa kanak-kanak, masa untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi karena biasanya anak yang menikah dini akan putus sekolah. Menurut salah satu laporan menunjukkan bahwa 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri masa pendidikannya setelah menikah dan bisa juga diakibatkan karena kurangnya kesempatan kerja. Selain pada anak yang menikah, pernikahan dini juga berdampak pada masyarakat yaitu siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas.2,3

Analisis masalah ini dapat terjadi karena ketidaksetaraan gender dan budaya. Sebagai contoh di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Jawa Tengah memiliki tradisi keluarga bahwa keluarga perempuan harus menerima jika ada yang melamar putrinya. Mereka tidak peduli dengan umur anak mereka bahkan kesiapan mental pada anak tersebut. 

Selain itu, faktor pendidikan juga berperan pada terjadinya pernikahan dini ini yaitu sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian pada pentingnya pendidikan. Kemudian pernikahan merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Pergaulan bebas juga berkontribusi pada terjadinya kasus pernikahan dini ini yaitu maraknya perilaku seks bebas pada kalangan remaja. Faktor internal berupa lemahnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan lemahnya pemahaman agama juga penyebab terjadinya pernikahan dini.3

Meskipun kasus ini serius, namun terdapat solusi yang bisa diterapkan dan dipertimbangkan yaitu diantaranya adalah pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus melakukan perbaikan pada undang-undang yang berlaku. Pemerintah harus mengambil peran denagn merevisi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline