Sejak beberapa hari terakhir, lini masa media sosial banyak membahas tentang kasus kecelakaan bus di Subang. Bus Trans Putera Fajar yang membawa rombongan SMK Lingga Kencana, Depok ini mengalami kecelakaan di Kawasan Ciater, Subang pada hari Sabtu 11 Mei 2024 dan menewaskan 11 orang. Karena adanya kecelakaan tersebut, PJ Gubernur Jawa Barat menerbitkan SE yang memperketat izin study tour keluar kota. Keptusan ini kemudian diikuti oleh beberapa pejabat lainnya di wilayah masing-masing.
Namun, keputusan tersebut justru menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Ada yang menganggap bahwa keputusan tersebut tidak tepat, karena yang bermasalah busnya bukan study tournya. Tetapi ada juga yang setuju dengan adanya larangan study tour keluar daerah karena dinilai terlalu makan banyak biaya. Pokoknya kalau mau seru-seruan nyimak aja cuitan netizen di X deh!
Menikmati keseruan "baku -hantam" di X setelah kecelakaan study tour siswa SMK Lingga Kencana di Subang, membuatku jadi ingin berkicau juga. Kebetulan sudah lama nggak nulis di Kompasiana. Sebenarnya aku netral saja dengan kegiatan study tour keluar kota, namun beberapa pengalaman buruk cukup memberikan kesimpulan bahwa sebenarnya kegiatan ini nggak penting-penting amat. Kenapa?
Memberatkan Keuangan Keluarga
Karena kegiatan study tour menurut pendapat pribadiku sebenarnya kegiatan yang cukup memberatkan dari sisi ekonomi. Ya maklum, aku dr keluarga yang kurang mampu, sekolah aja dibantu dibiayain simbah. Jadi bisa ngerasain gimana susahnya orang tua/wali murid/bahkan muridnya sendiri harus mengumpulkan uang lebih keras lagi hanya untuk bayar study tour. Padahal mungkin uang dengan nominal tersebut bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih prioritas seperti bayar SPP, uang gedung sekolah, cari tempat magang, atau bisa disimpan untuk biaya sekolah selanjutnya.
Pengalamanku mengikuti study tour semasa duduk di bangku SMA di tahun 2000-an, dari Jogja ke Pulau Bali dengan biaya sekitar 500.000 rupiah dan bisa dicicil beberapa kali. Sebenarnya aku tidak ingin ikut karena paham dengan kondisi keuangan keluarga.
Namun jika tidak ikut, sering ditakut-takutin nanti ijazahnya nggak keluar, dikucilkan teman dan sebagainya. Akhirnya mau tidak mau ikut study tour ke Bali dengan uang saku recehan sebesar 30.000 rupiah. Pengen nangis? Iya, pastinya!
Masalah tidak berhenti setelah bayar study tour dan punya uang saku buat berangkat, selesai study tour pun aku dan teman-teman masih disibukkan dengan laporan hasil karya wisata yang tentu butuh money money money buat ngeprint, jilid dan sebagainya. Apalagi kalau dapat kelompok yang nggak kompak, udah tambah pusing aja deh bikin laporannya.
Waktu singgah di Bali, kaca bus yang aku tumpangi hampir pecah di bagian depan, kaca single glass yang besar itu, hampir pecah entah karena apa. Tetapi untungnya tidak sampai pecah berantakan mengenai para siswa. Tapi tetap saja membuatku overthinking mengenai keselamatan dalam perjalanan.
Oh iya, tentu pengalaman ini akan berbeda jika yang menuliskan siswa kaya raya dengan unlimited money ya. Hehe
Menambah Wawasan Tidak Melulu Dengan Study Tour
Banyak yang bilang study tour itu untuk menambah wawasan, tapi yang aku rasakan tidak seperti itu. Justru study tour di sekolahku dulu adalah ajang gengsi, ajang kekompakan, intinya biar "kelihatan" kompak.