Lihat ke Halaman Asli

Niken Corina Olga

Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang

Perang Tanpa Peluru: Dilema Hukum Humaniter Internasional di Era Serangan Siber

Diperbarui: 11 Januari 2025   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi operasi militer yang melibatkan serangan siber atau penggunaan teknologi dalam konflik. Foto: Dirancang oleh mockupdaddy-com di Freepik 

Bayangkan sebuah klik pada mouse yang bisa menjadi lebih mematikan daripada peluru yang melesat di medan perang.

Kemajuan teknologi telah mengubah watak peperang secara signifikan. Dulu, perang ditandai dengan senjata militer tradisional, dengan medan perang dan musuh yang jelas. Namun kini, teknologi digital memainkan peran penting dalam urusan global membuat peperangan berevolusi mengarah pada pengembangan persenjataan yang lebih canggih dan tak terlihat. Akibatnya, perang kini mampu melumpuhkan suatu negara tanpa tembakan. Hal ini telah menciptakan jenis perang baru dengan ancaman yang tidak terbatas pada medan perang yang sebenarnya dan sangat berbeda dari apa yang kita kenal di masa lalu.

Salah satu contoh yang menonjol dari perubahan ini adalah maraknya serangan siber selama beberapa tahun terkahir. Serangan ini telah menjadi taktik umum yang digunakan untuk merongrong kedaulatan nasional di zaman modern. Serangan siber adalah tindakan yang disengaja untuk mengganggu, merusak, atau mengakses sistem komputer, jaringan, atau data digital tanpa izin. Tujuannya meliputi pencurian informasi, perusakan data, pelumpuhan infrastruktur, atau gangguan pada layanan-layanan penting. Metode yang digunakan termasuk malware, phishing, serangan DDoS, eksploitasi celah keamanan (zero-day), dan rekayasa sosial. 

Serangan-serangan ini dapat merusak data sipil, seperti data medis; melumpuhkan infrastruktur vital, termasuk jaringan listrik dan pasokan air; dan mengganggu layanan elektronik pemerintah. Serangan siber sering digunakan sebagai pelengkap senjata tradisional yang dapat memperbesar dampak serangan fisik dengan melumpuhkan komunikasi atau infrastruktur penting. Sifatnya yang sulit dideteksi dan tidak memiliki kehadiran fisik membuatnya menjadi alat strategi baru dalam perang modern.

Salah satu contoh spesifik dari ancaman siber ini dapat dilihat dalam konflik antara Rusia dan Ukraina. Konflik yang meletus pada tahun 2022 ini tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga secara signifikan mengubah tatanan global. Rusia melancarkan serangan siber untuk memperoleh informasi pribadi dari entitas pemerintah Ukraina. Selain itu, serangan ini menyebabkan kerusakan pada infrastruktur penting dan mengganggu sektor-sektor penting seperti listrik, telekomunikasi, dan transportasi. The State Service of Special Communications and Information Protection (SSSCIP) melaporkan bahwa sejak dimulainya invasi, Ukraina telah mengalami lebih dari 796 serangan siber yang ditujukan untuk pemerintah dan sektor swasta.  Angka ini menggambarkan bagaimana serangan siber dapat mengancam kedaulatan suatu negara tanpa harus menggunakan tindakan militer konvensional.

Bersama dengan Rusia, sejumlah negara lain telah mengakui secara terbuka meluncurkan serangan siber selama masa perang, dan jumlah negara yang menggunakan kemampuan siber militer terus meningkat. Hal ini menimbulkan dilema besar yang dihadapi Hukum Humaniter Internasional (HHI) dalam mengimbangi realitas perang yang semakin canggih dan kompleks dan menimbulkan pertanyaan penting, dapatkah HHI mengatur serangan siber semacam ini, mengingat sifat teknologi yang berubah dengan cepat dan potensi kerusakan yang melampaui batas-batas tradisional perperangan fisik?

Tujuan Hukum Humaniter Internasional adalah untuk mengurangi jumlah orang yang terbunuh dalam pertempuran dengan mengatur keseimbangan antara kepentingan politik dan perlindungan manusia. Hukum ini membatasi alat dan taktik perang serta melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi secara langsung mengambil bagian dalam permusuhan.

Mirip dengan hukum yang mengatur senjata fisik seperti peluru dan bom, Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam serangan siber selama konflik bersenjata. HHI tidak hanya berlaku untuk perang di masa lalu atau sekarang, tetapi juga untuk perang di masa depan.

Hal ini dikonfrimasi oleh Pendapat Penasihat Mahkamah Internasional tentang Senjata Nuklir dari tahun 1996, yang menyatakan "Hukum Humaniter Internasional berlaku untuk semua bentuk peperangan dan semua jenis senjata, baik di masa lalu, sekarang, maupun di masa depan".

Dalam Protokol Tambahan I (1977) Pasal 36, negara-negara diharuskan untuk menilai legalitas senjata baru, seperti teknologi siber dalam kasus ini, untuk memastikan bahwa penggunaannya sesuai dengan HHI. Mahkamah Internasional juga telah menyatakan bahwa HHI dapat diterapkan pada semua jenis konflik, bahkan konflik yang menggunakan teknologi modern. Sehingga, meskipun Protokol Tambahan I ditulis sebelum perkembangan teknologi siber, protokol ini dapat digunakan untuk menjamin kepatuhan terhadap HHI, melindungi warga sipil, dan menjunjung tinggi martabat manusia dalam situasi perang modern.

Meskipun Hukum Humaniter Internasional saat ini mengatur sifat alat dan teknik perang yang terus berkembang, ada diskusi yang meningkat tentang apakah HHI harus direvisi atau hanya ditafsirkan ulang untuk mengatasi tantangan baru yang ditimbulkan oleh perang modern. Namun, HHI membutuhkan lebih dari sekadar perubahan hukum. Perdebatan yang sedang berlangsung sering kali mengalihkan perhatian dari masalah utama yaitu kurangnya dedikasi negara untuk menegakkan hukum yang sudah ada. HHI membutuhkan komitmen yang tulus dari negara-negara untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline