Lihat ke Halaman Asli

Aluna Stories (3)

Diperbarui: 16 April 2016   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku berdiam diri lagi disini,masih ditempat yang sama seperti kemarin. Memesan minuman yang sama ,duduk dimeja yang sama, dan masih tetap sendiri ditempat ini. Yang membedakan hari ini ialah sepasang kekasih yang kali ini duduk disebelah mejaku,dan bukan lagi dua bocah imut menggemaskan. Sesak. Kata itulah yang pertama hinggap dibatinku. 

Kuperhatikan sepasang kekasih itu. Mereka nampak penuh dengan cinta dan sekaligus bahagia. Iri? Tidak,bukan kata itu yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini,melainkan sesak dan sedih. Kedua kata itulah yang lebih terasa tepat untuk menggambarkannya.

Mengingatkanku pada kejadian satu tahun silam yang masih begitu terasa menyakitkan,hingga saat ini. Satu tahun yang lalu, aku merasa lebih penuh dan lengkap. Sosok lai-laki itu membuatku merasakan hal-hal yang melukis hidupku melalui tinta-tinta yang dia percikan dengan perasaan cinta yang mampu dia berikan untukku,dengan begitu "lengkap" dan dengan segala yang ada pada dirinya. 

Sosoknya mampu menjadi apapun yang aku butuhkan. Dia dapat menjadi seorang teman, sahabat yang baik, menjadi seorang abang yang mampu menyayangi dan menjaga adik perempuannya, menjadi sosok ayah yang begitu terasa tulus ingin membahagiakan anak perempuannya,dan tak luput juga terkadang dia mampu menjadi seorang musuh yang begitu keras kepala dan egois buatku. Semua yang ada didirinya itu, membuatku begitu sangat mencintainya secara berlebih. 

Logikaku mengerti kalau segala sesuatu yang dirasa berlebihan itu takkan menjadi baik untuk diriku sendiri. Namun lagi-lagi hati tak dapat berkongkalingkong dengan otak kecilku ini. Seberapa banyak pun otak ini menyangkal semuanya itu buruk, tapi lebih banyak lagi hatiku yang menerima semuanya dengan begitu polos dan tulusnya.

Seperti sepasang kekasih yang duduk disebelahku mejaku ini. Bercerita dengan dengan tawa mereka yang begitu bahagia. Saling beradu mata untuk membawa perasaan itu sampai ditempat tujuannyayang murni,yaitu hati. Dulu,kami (aku dan sosok laki-laki itu) sepaham. Tanpa aku ataupun dia yang berbicara untuk menyiratkan kalimat-kalimat mengundang tawa bahagia. 

Bibir kami masing-masing sudah membentuk lengkungan indah senyum dan pada akhirnya kami sama-sama melepas tawa kebahagiaan. Sama seperti sepasang kekasih ini, kami dulu juga saling melemparkan lelucon yang hanya kami berdua dapat mengerti. Dan juga sama seperti sepasang kekasih ini, kami dulu juga terkadang membuka forum debat pribadi, entah itu untuk hal-hal sepele ataupun hal-hal yang sangat penting,dan entah pula bakal berakhir dengan kesepakatan ataupun dengan ujung yang tak ada satupun dari kami yang menjadi pemenangnya.

Itu semua dulu. Disaat kami masih menjadi kata "kita". Dan disaat ini, semua yang kami ciptakan dulu lenyap sudah termakan kepahitan dan tergantikan dengan rasa putus asa yang menjadi awan tebal yang melingkupi hatiku. Dia pergi. Benar-benar pergi meninggalkan aku dengan segala rasa pahit yang tersisa dihidupku. 

Aku mencintainya. 

Masih sangat mencintainya. 

Dan kepergiannya menyadarkanku bahwa, semua yang aku miliki dengan berlebihan akan diambil paksa oleh tuhanku yang menciptakannya. Tanpa waktu yang kutahu kapan, tanpa moment yang kuduga dan tanpa kata-kata perpisahan apapun yang ingin kudengar dan kuucapkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline