Ketika musim hujan di bulan Nopember mulai menghampiri kotaku, biasanya hampir setiap sore aku dapat menikmati cahaya pelangi. Keindahan cahaya alam yang hanya tampak bila syarat mutlak ini terpenuhi, yaitu ketika rintik hujan tertangkap basah oleh senja yang menggairahkan dalam balutan langit biru. Dan tahukah engkau bahwa aku ingin selalu menjadi cahaya yang terindah dalam setiap detik hidupmu. Ah kamu pasti menyebutku penghayal ulung kan?
Liburanku tinggal sehari lagi, besok aku harus kembali melangkahkan kakiku menuju kotamu. Sebuah kota yang menjadi tumpuan harapan semua orang. Kota yang padat penduduknya. Kemacetan pun sering terjadi di tiap-tiap sudut perempatan jalan. Akibatnya polusi dan penat tak dapat dihindarkan lagi. Bahkan orang rela berdesak-desakan di gerbong kereta demi untuk mengais rezeki di ibu kota. Apakah mungkin ini akibat dari pembangunan yang tidak merata? Andai kue ekonomi itu terbagi adil dan merata ke semua kota dan daerah, maka semut-semut itu tidak akan berebut mengerubungi bagian termanis seperti halnya kotamu.
***
Lebaran haji telah berlalu selama empat hari pertanda malam ini adalah malam purnama sidi. Tiba-tiba saat aku menengadahkan kepala menikmati cayaha rembulan, aku teringat masa kecilku bermain di pura rumah Mbah Putri. Berkejaran sambil menyanyikan lagu padhang mbulan bersama teman-teman sepermainanku dulu: “Yo prokonco dolanan neng njobo, padhang mbulan padhange koyo rina, rembulane sing ngawe-awe, ngelekake aja pada turu sore”. Tanpa kusadari tampaknya lagu dolanan yang wajib menjadi lagu anak-anak seusiaku dulu telah terekam di bawah alam sadarku. Hampir dua puluh lima tahun lebih aku tidak pernah menyanyikannya, namun hatiku masih setia menikmatinya. Lagu yang mengirimi aroma keceriaan, kebahagiaan dan kedamaian serta sarat makna bagi jiwa-jiwa yang berkelana. Dimanakah kira-kira teman-teman sepermainanku itu? Aku tiba-tiba rindu canda tawa bocah kecil yang renyah. Aku ingin berteriak dan tertawa lepas seperti waktu itu. Tak ada beban hidup yang tersirat di mata bocah kecil yang bening. Karena sebagian besar dunia anak kecil memang hanya seputar bermain, belajar, tidur, dan makan.
Tapi keadaannya berbeda. Sekarang aku bukan anak kecil lagi, aku telah memasuki dunia orang dewasa. Dunia yang agak rumit menurutku. Tidak bisa berceloteh sembarangan juga tidak semua perasaan baik suka maupunpun duka boleh diungkapkan.
“Ajining diri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana,” begitu nasehat Mbah Putri ketika waktu itu aku bicara sembarangan kepada kakakku. Kurang lebih apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya yaitu nilai pribadi seseorang ada pada ucapannya dan nilai raga tercermin dari pakaian yang dikenakannya. Lantas apakah aku salah terlahir dari suku jawa sehingga patut menjunjung tinggi nilai-nilai warisan budaya leluhurku? Mungkin bila aku terlahir dari suku lain maka aku tidak perlu repot dan serba pakewuh seperti yang kualami sekarang ini. Bukankah lebih baik spontan seperti bayi, kalau lucu ya tertawa, kalau sedih ya menangis, kalau lapar tinggal bilang lapar? Ah ini hanya pendapatku pribadi dan boleh jadi nilai-nilai budaya leluhurku memang ada benarnya: bahwa hati, pikiran, dan perkataan kita adalah do’a sehingga manusia dituntut untuk selalu berpositif thinking dan bersikap baik.
Hampir satu jam aku berdiri menikmati keindahan sinar rembulan sambari menenangkan beribu perasaan yang berkecamuk dalam relung hatiku. Bahkan teknik pernafasan anuloma viloma yang aku pelajari dari Yoga pun belum dapat menengkan hati dan pikiranku.
Dari luar taman pelataran halaman belakang rumah, kuamati kakakku yang sedang membaca buku. Tampak serius sekali membacanya. Beberapa kali aku tengok masih tetap pada posisi semula, belum menggeser duduknya.
“Padhang mbulan, Mas!” teriakku dari jarak lima meter ke arahnya yang tengah asyik membaca sembari menekan perasaan yang tengah bergemuruh dalam hatiku.
Tidak ada jawaban, sepintas hanya menoleh sebentar. Mungkin dia berfikir apa bagusnya sinar rembulan? Atau barangkali baginya bentuk bulan tampak biasa-biasa saja. Berbentuk bundar jika dihari kelima belas penanggalan qomariah. Atau bisa jadi dia sudah puas memandangi bulan purnama yang warnanya masih sama. Tapi bagiku rembulan yang menggantung di kota kelahiranku ini lebih romantis. Sinar keemasannya meneduhkan dan menenangkan bagi jiwa-jiwa yang galau seperti diriku saat ini.
Setelah pikiran dan perasaanku lebih tenang, perlahan kulangkahkan kakiku menuju ruang tengah dimana kakakku bercumbu dengan huruf-huruf dalam lembaran buku biografi salah satu tokoh Sufi Timur Tengah. Aku mengambil duduk di sebelah kirinya ke arah pintu ruang keluarga yang menghadap ke taman.
“Ngapunten Mas kalau ucapanku ini kurang berkenan di hati panjenengan.” Jeda sesaat. Aku mengatur nafasku kembali. Terus terang aku kurang nyaman untuk memulai pembicaraan untuk urusan satu ini.
“Berapa lama lagi aku harus nunggu, Mas?” sambungku.
Hening tidak ada suara. Beberapa menit kemudian sambil membalik lembaran bukunya, dia menimpali singkat tanpa menoleh ke arahku: “Kalau mau duluan silahkan!”
Pintu dan jendela ruang tengah tempat kami mengobrol masih terbuka lebar. Angin malam sepoi-sepoi basah berhembus menembus rongga dadaku. Sisa-sisa hujan sore tadi sore meruapkan aroma tanah basah, namun aku tetap merasa gelagapan kehabisan nafas. Dadaku terasa sesak, seperti terhimpit batuan besar. Sakit.
Aku pelahan memperbaiki posisi dudukku, berusaha menangkap air mukanya. Masih sama seperti sedia kala tidak ada perubahan di wajahnya. Tetap tenang, setenang air telaga. Apakah dia tidak tahu apa yang tengah bergemuruh dalam hatiku? Atau dia juga merasakan apa yang aku rasakan sehingga perlu mengontrol emosi yang tengah berkecamuk di hatinya? Ah, kenapa dunia orang dewasa serba rumit?
Duh Gusti, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya dia mengerti perkataanku, ratapku dalam hati.
“Kalau aku duluan, Mas minta apa dari aku?” akhirnya kalimat itu pecah dan tumpah terurai ke udara.
Kangmas mendeham lalu menutup buku yang tengah dibacanya. Tak kuasa hatiku menatap mata lembu yang bening itu. Runtuh rasanya perasaanku. Selama menjadi adiknya aku merasa begitu egois, tidak memperhatikan perasaan kakakku. Bagaimana perasaanku seandainya aku yang menjadi kakakku? Apakah aku bisa setegar dan sekuat dia?
“Jika kamu sudah siap lahir bathin untuk menikah, silahkan!” Tidak ada penekanan suara.
Kali ini hatiku semakin bertambah terenyuh. Luruh dan sangat menyesak mendengar ucapannya yang mengalir jernih. Tidak pernah dia berintonasi setenang itu.
“Aku ndak perlu apa-apa. Tuhan telah mencukupi semua urusanku. Do’aku, semoga hidupmu bahagia bersama suami dan anak keturunanmu kelak.” Tidak biasanya kakakku yang hemat kata itu berbicara panjang.
Butir-butir hangat tiba-tiba membasahi bola mataku sementara hatiku bergetaran. Tanpa kusadari cairan hangat itu mengalir memembelah pipiku. Dan aku hanya bisa tertunduk. Tak kuasa aku menatap air muka yang memancarkan aura kepasrahan total itu. Aura tenang tanpa tersirat kekhawatiran sebersitpun. Apakah ini buah dari pelajaran keimanan yang dia yakini selama ini bahwa hidup sudah ada yang mengatur, manusia hanya menjalani apa kata sang Dalang Kehidupan? Perlahan aku meraih kedua tangannya lalu menciumnya.
Dalam hati aku hanya bisa memanjatkan do’a: Ya Allah Yang Maha Pengurus lagi Maha Penolong, pilihkanlah kekasih terbaik di sisi-Mu untuk menjadi teman kakakku dalam urusan agama, dunia dan akhirat, agar mereka bahagia dan dapat kembali ke Surga-Mu dengan selamat. Amin.
***
Romo dan Ibu mengantarku sampai pintu depan rumah dengan tatapan nanar berkaca-kaca. Menyaksikan ini aku tak kuasa menahan air mataku. Segera kupeluk tubuh senja yang mulai ringkih itu. Kami berdua beradu sendu, menangis kesegukan. Lalu perlahan aku melepas pelukannya dan segera kuseka air matanya.
Melihat kami larut dalam suasana melankolis, Romo yang tengah berdiri di antara kami berdua langsung merangkul kami sambil berkata lirih di telingaku: “Menjadi perempuan itu harus belajar sami’na wa atho’na, mendengar dan patuh!”
Entah apa maksud dari nasehat Romo, saat itu aku hanya bisa menanggukkan kepala sambil menjawab: “Inggih, Romo.”
Romo seorang pribadi yang sabar dan penuh pengertian kepada istri dan anak-anaknya. Meskipun Ibu bukan dari keuarga muslim tetapi Romo selalu sabar menjadi imam yang baik bagi keluarganya. Berdoa tanpa berbicara, sehingga kepatuhan yang muncul bukan karena paksaan melainkan kesadaran yang berasal dari dalam nurani yang suci. Memang tidak ada yang instan di dunia ini semua membutuhkan waktu, seperti halnya kesadaran Ibu untuk menjadi mualaf beberapa tahun yang lalu.
Kucoba memutar ingatanku kembali ke beberapa hari lalu, bisa kukatakan ibadah Ibuku tampak lebih khusuk daripada diriku. Dzikirnya lebih lama dari pada zikirku. Dan aku yakin do’anya pasti lebih mustajab karena dia adalah bidadari surgaku. Semua itu tidak lain adalah buah kesabaran Romo dalam menjalani detik demi detik episode kehidupan. Tuhan, sayangilah dan lindungilah kedua orangtuaku sebagaimana mereka menyayangi dan melindungiku pada waktu kecil. Amin.
Di bawah naungan padhang mbulan kota Blitar, 15 Besar 1433 Hijriah
Do’a untuk adikku terkasih: semoga dianugerahi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dan keturunan yang soleh dan solehah. Amin.
anuloma viloma merupakan salah satu teknik pernafasan, yaitu bernafas dengan satu lubang hidung lalu menahannya kemudian menghembuskan melalu lubamg hidung yang lainnya. Efek dari pernafasan ini dapat menenangkan pikiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H