Lihat ke Halaman Asli

Poligami Adalah Kewajaran

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tidak hendak bicara soal hukum, tetapi mencoba mempertimbangkan.

Mahluk berjenis kelamin perempuan tentu sulit bersikap biasa mendengar kata "Poligami". Padahal hanya sebuah kata. Ya, kata tersebut juga sudah berklai-kali menjadi perdebatan.

Berbicara tentang "Poligami", berati juga berbicara tentang "Keluarga", yakni anak dan orang tua, lebih detail lagi suami, istri bapak, ibu, anak, kakak, adik, bahkan kakek dan nenek. Itu yang berwujud benda. Dan yang abstrak, yakni cinta, hasrat, impian, kebahagiaan, ketentraman, kedamaian, kebersamaam, kepercayaan, kasih sayang, dan banyak lagi. Selain itu, juga tentang hukum.

Sejarah sudah mencatat, banyak lelaki yang beristri lebih dari satu, yang kemudian diistilahkan dengan berpoligami. Raja-raja jaman dahulu pun juga ada yang melakukannya, bahkan nabi juga demikian.

Coba kita tinjau awal terjadinya poligami.

Dari segi budaya masyarakat, baik di Indonesia maupun di beberapa negara lain, sejak dahulu hingga sekarang, lelakilah yang biasa menggoda wanita, artinya yang memulai wacana untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun tidak sedikit juga kaum wanita yang menggoda. Inilah yang kemudian terjadi jalinan hubungan asmara antara lelaki dan wanita. Lalu mereka menikah dan disebut Suami dan Istri.

Di sana ada "Cinta", saudaranya adalah "Rindu", bahkan bukan sekedar saudara karena jika rindu itu panjang durasinya, maka cinta akan sangat mekar di ujungnya. Tetapi ada juga musuhnya, yakni "Kebosanan". Sudah lumrah manusia suka pada hal baru. Tetapi tidak ada "Kebaruan" yang abadi, tidak ada, tidak ada. "Baru" hanyalah sesaat.

Lalu, bagaimana agar para penikmat "Baru" bisa menikmatinya?

Hmm...

Kita mengenal istilah pengantin baru, momen yang diimpi-impikan setiap pemuda dan pemudi. Masa itu adalah masa yang penuh kebahagiaan. Tetapi berbeda-beda "Bahagia". Ada yang bahagia karena sudah terlepas rindunya, ada yang karena berhasil memiliki seseorang yang dianggapnya 'Wah!' (bangga/mendapat kepuasan), ada yang bahagia karena merasakan sesuatu yang baru (kenikmatan tak terkira), ada yang bahagia karena terpenuhi rasa penasarannya terhadap suatu rasa, ada yang karena telah menjadi terangkat kualitas hidupnya menurut ajaran agamanya, dan sebagainya.

Apakah penikmat "Baru" harus menikah lagi (berpoligami) untuk menikmati pengantin baru?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline