[caption id="attachment_152567" align="aligncenter" width="604" caption="Jembatan Kukar runtuh (diunduh dari http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/392034_2686516770144_1473164739_32964114_1841341280_n.jpg)"][/caption] Pasca runtuhnya jembatan Kartanegara yang menghubungkan kota Tenggarong dan Tenggarong Seberang hingga kini masih menimbulkan banyak spekulasi. Structural failure pada jembatan yang masih berusia 10 tahun memang sangat jarang terjadi. Meskipun saya bukan orang teknik sipil yang paham tentang seluk beluk konstruksi, dari pengalaman saya bekerja sebagai plant engineer, catastrophic failure pada equipment jarang disebabkan oleh single event, melainkan didahului oleh serangkaian peristiwa yang mulanya hanya menimbulkan gangguan kecil pada kondisi operasi normal. Karena gangguan tsb seringkali masih dalam batas toleransi operasi, peristiwa ini tidak terlalu dihiraukan. Namun jika tidak segera dianalisa dan ditelusuri, maka sebenarnya kita tengah mengundang bencana, hanya tinggal tunggu waktu dan pemicu yang tepat saja. Saat ini memang masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan penyebab ambruknya jembatan, namun kali ini saya mencoba mencermati berita yang dilansir beberapa media akan adanya potensi penyimpangan atau kelalaian operasional. Kemarin iseng saya browsing untuk mencari berita terkait mengenai jembatan Tenggarong. Berita yang dilansir Kaltim Pos tanggal 17/02/2011 mewartakan bahwa salah satu tiang utama jembatan ini dilaporkan bergeser 15 cm dari posisi awalnya. Menanggapi laporan tsb. Kepala dinas PU, Didi Ramyadi menyatakan bahwa pergeseran tsb masih berada dalam batas yang ditoleransi dan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, maka timnya akan mengencangkan baut-bautnya. Saat itu ia bahkan menjamin bahwa jembatan tidak akan ambruk. Saya tercenung dibuatnya. Deformasi adalah indikasi kuat bahwa suatu struktur tidak dapat menahan beban secara semestinya karena gaya tensile, kompresi, geser atau gaya puntir. Dalam hal ini bisa jadi disebabkan karena overload (baik beban hidup ditambah faktor environment seperti kecepatan angin), bisa karena kegagalan material, atau juga disebabkan oleh pergeseran fondasi karena jembatan dibangun di hulu sungai Mahakam yang dikenal memiliki arus bawah cukup deras. Yang membuat saya heran tdp pernyataan ybs adalah: bagaimana bisa mengencangkan baut diharapkan mampu menjadi solusi? Di pikiran awam saya pergeseran tiang utama sebesar 15 cm bukanlah problem main-main, pengencangan baut hanyalah temporary action, ia tidak mampu mengatasi problem utama. Kemarin malam tanggal 28/11/2011 saya menyimak bincang-bincang di TV one yang menghadirkan salah satu narasumber pakar konstruksi dari Universitas Mulawarman Prof. Jamaludin melalui telewicara. Inti dari percakapan tsb adalah beliau menganggap bahwa konstruksi dari jembatan tsb adalah teknologi abal-abal; meskipun terlihat sebagai suspension bridge, sebenarnya secara struktural bukan. Beliau juga meragukan feasibility study pembangunan jembatan tsb telah dilakukan dengan benar mengingat tanah di sekitar sungai Mahakam adalah tanah gambut yang relatif tidak stabil. Yang mengejutkan adalah ketika beliau memprediksi bahwa umur jembatan bahkan tak sampai 10 tahun. Nah lo ?!! Sayang sekali beliau tidak hadir di studio untuk menjelaskan problem secara teknis, jika perlu disertai gambar supaya jelas. Hmm...apakah jembatan ini sudah salah desain sejak awalnya yaa? Pagi ini tanggal 29/11/2011 saya kembali dibuat terhenyak membaca harian cetak Kaltim Pos. Halaman utamanya mewartakan bahwa anggaran pemeliharan rutin jembatan ini nol rupiah alias tidak dianggarkan oleh pemkab Kutai Kartanegara. Kok bisa? Data Kaltim Pos menyebutkan bahwa jembatan ini hanya diguyur tiga kali dana perbaikan -bukan pemeliharaan- selama 10 tahun berdiri. Ketika ditanya mengapa tidak ada anggaran APBD untuk pemeliharaan, melainkan hanya untuk perbaikan, kepala dinas PU Didi Ramyadi menjawab, "Sama saja kan?" - Oh my Gooodd...gajah makan kawat, bagaimana bisa orang yang duduk jadi kepala dinas PU tidak memahami perbedaan antara perbaikan dan pemeliharaan?!!! Saya tepok jidat, jika pemeliharaan rutin tidak dilakukan darimana mereka tahu ada potential failure? Tindakan korektif pada komponen rusak belum tentu merupakan solusi utama. Seperti pengalaman-pengalaman saya terdahulu, hal-hal kecil yang luput dari pengamatan inilah yang justru penyumbang terbesar pada sebuah catastrophic failure. Apakah orang-orang PU Kukar ini benar-benar paham akan pekerjaan mereka? Apakah mereka benar-benar kompeten di bidangnya? Terus terang saya sangat meragukan tentang kualitas SDM pejabat publik kita. Berita terakhir dari Metro TV menyatakan bahwa hasil investigasi tim ITS menemukan bahwa putusnya salah satu kabel menimbulkan efek domino pada jembatan yang lalu lintasnya saat itu tengah padat. Saya jadi teringat berita yg dilansir Kaltim Pos tgl 27/11/2011 dimana beberapa warga melaporkan bahwa beberapa jam sebelum jembatan ambruk, ada kegiatan perbaikan di jembatan namun kendaraan tetap dibiarkan lewat. Saya pun bertanya-tanya, seberapa kritis perbaikan ini? Apakah ada hubungan antara perbaikan tsb dengan ambruknya jembatan? Sudah bukan rahasia bahwa kabupaten terkaya di Indonesia ini adalah lahan basah korupsi. Bupati terdahulu, Syaukani, sempat dibui selama 3 tahun (meskipun 2 tahun masa tahanannya dihabiskan di kamar VIP RS) karena berbagai kasus korupsi dan mark-up anggaran meskipun akhirnya diberi remisi bebas karena alasan kemanusiaan oleh Patrialis Akbar. Mengingat jembatan ini dibangun pada masa pemerintahannya, tak pelak saya berpikir tentang keterlibatan mantan orang no.1 di Kukar ini. Seorang kaskuser di thread ini mengaku sebagai salah satu orang yg menangani proyek lampu jalan dan jembatan ini. Ia menyebutkan bahwa pelaksanaan proyek penuh masalah. Pembayarannya bahkan tertunda hingga 2 tahun sehingga perusahaannya terus dibayangi hutang beserta bunganya. Ketika turun pun, jumlahnya dipotong Rp 1 M, entah komponen apa yg dipotong dan siapa yg memotong, benar atau tidaknya wallahu'alam... Dari pengalaman saya mengepalai beberapa proyek, sebagian besar kontraktor cenderung mengambil shortcut. Meskipun spesifikasi telah kita tetapkan, praktik pengurangan spec. material kerap terjadi. Di situlah seharusnya peran kita sebagai controller terhadap kualitas material dan pengerjaan. Sulitnya adalah jika seorang pengawas ternyata memiliki conflict of interest dengan kontraktor. Saya menyaksikan hal ini firsthand pada kolega, bahkan atasan saya. Meskipun saya sangat anti pada praktik semacam ini, semua orang yang menggeluti dunia perproyekan juga tahu bahwa ini adalah hal yang sangat umum. Apalagi jika klien yang dihadapi adalah pejabat pemerintah, banyaknya oknum yang meminta fee membuat kontraktor harus membuat potongan di sana-sini agar tidak nombok. Apalagi dengan pengawasan yang longgar dan minimnya standar, bisa anda pahami kenapa infrastruktur kita begitu buruk. Ujung-ujungnya rakyat juga yang dirugikan. Kapan majunya kita kalo APBD tergerus untuk pemeliharaan perbaikan infrastruktur hampir tiap tahun? Bicara soal buruknya kualitas infrastruktur di Kaltim sebenarnya bukan hanya jembatang Tenggarong saja. Jembatan Mahakam yang menghubungkan kota Samarinda dengan kec. Samarinda Seberang dilaporkan pernah ditabrak kapal tongkang sebanyak 6x!! Tabrakan yang terjadi bulan September lalu bahkan menyebabkan tiang penyangganya terlihat retak. Satahu saya kapal tongkang yang segede gaban itu tidak bisa lari secepat speedboat. Sungai Mahakam adalah jalur yg selalu ramai. Bukankah seharusnya gampang menindak pelaku tabrak lari seperti ini dan memaksa mereka membayar kerusakan yang mereka sebabkan? Ini logika goblok-goblokan saya ya...mbok ya kalo memang gak bagian bawah jembatan rawan dilewati, dibuatkan regulasi tentang dimensi kapal. Kalo memang tiangnya susah dilihat, yaa..diberi tanda atau penerangan. Kalo masih juga nabrak, tangkap itu nahkodanya, beri sanksi tegas pada perusahaan pemilik kapal tongkangnya. Tapi kalo sudah terjadi sampai yang ke-6 kalinya, bagi saya ini sudah merupakan pembiaran. Kebacut..kata orang Jawa. Masa menunggu sampai jembatan ini ambruk juga? Kebetulan saya juga menyimak tanggapan-tanggapan masyarakat yang dimuat di media2 lokal. Tak sedikit yang meminta pertanggungjawaban pihak kontraktor dan pemerintah, namun banyak yang mengatakan bahwa bukan saatnya kita mencari kesalahan dan mengambil hikmah. Hmm...normatif sekali ya.. Meskipun ada benarnya, tapi mencari kesalahan sebenarnya adalah proses dari pembelajaran asalkan dilakukan dengan cara yg fair dan didukung bukti konkrit. Bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan jika tak tahu di mana letak salahnya? Investigasi pada akhirnya akan membuka kronologis peristiwa dan mengungkap pihak-pihak yang bertanggungjawab. Jika tidak, maka kita akan membiarkan mereka yang bersalah lolos dari tanggungjawabnya dan membuat kesalahan yang sama terus berulang di tempat-tempat lain. Saat ini kita harus mengedepankan logika untuk belajar dari kesalahan. Bukan karena jembatan kurang sajen atau tidak minta ijin dari 'penunggu' setempat seperti yang sempat dilansir beberapa media. Doa bersama dan meningkatkan ketakwaan saja tidak cukup untuk mencegah bencana serupa terjadi di masa depan jika sesuatu yang tangible seperti aspek teknis justru terabaikan. Suatu hal yang ironisnya jelas tercermin dari pernyataan Kepala Dinas PU Kukar. Saya melihat bahwa potensi bahaya yang diketahui namun dibiarkan oleh pemerintah hakikatnya adalah kejahatan thdp rakyat. Proyek-proyek bernilai fantastis tsb dibiayai oleh uang pajak yang ditarik pemerintah dengan berbagai cara. Namun saya lagi-lagi disadarkan pada suatu kenyataan pahit: nyawa rakyat dihargai sedemikian murah di negeri ini. Disarikan dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H