Lihat ke Halaman Asli

Meretas Asa di Negeri Sakura (Bagian V)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_218235" align="alignleft" width="300" caption="sakura bersemi di kampus kami (dokpri)"][/caption]

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya.

-------------------------------

Juli 2009 “Niji, kamu tau di mana Shin-kun?” tanya Miyazaki-sensei. - “Tidak, sensei. Saya tidak melihatnya 2 minggu terakhir.” jawab saya. “Dia tinggal di kokusaito (asrama kampus) kan ?” - “Setahu saya iya..” “Masaki-kun, kamu tinggal di kokusaito kan?” tanya sensei pada salah seorang member lain. “Iya sensei.” Jawab Masaki-san “Coba cari tahu di mana Shin-kun kalau kamu pulang nanti.” “Baik sensei..” Dan sensei pun berbalik pergi. Dari belakang saya memandanginya, tubuh yang kurus itu masih tampak sangat bugar di usia 62 tahun. Miyazaki-sensei memiliki fisik yang sangat kuat, setiap tahun di musim panas ia selalu menyempatkan naik Gn. Fuji yang tingginya hampir sama dengan Gn. Semeru di Indonesia. Ia yang hobi main ski dan jogging, jarang sekali jatuh sakit. Saya bertanya-tanya, mungkinkah di balik fisik yang tangguh itu terdapat jiwa yang kecil, kesepian, dan terisolasi? Adakah beliau menyesal telah sempat mengusir Shin-san 2 minggu lalu? Adakah ia mendapatkan a false sense of power dengan memperlakukan orang lain dengan sedemikian buruk? Setahu saya hubungan beliau dengan sensei-sensei lain di departemen pun tidak terlalu baik. Kuat dugaan saya bahwa kolega-koleganya pun tahu tentang temperamen beliau yang meledak-ledak, namun karena beliau adalah profesor senior di departemen ini, tak ada yang berani menegurnya. Senioritas adalah sesuatu yang masih dijunjung tinggi di masyarakat Jepang yang konservatif ini. 4 hari kemudian Shin-san muncul lagi. Entah apa yang dikatakan sensei padanya hingga ia mau kembali lagi. Diam-diam saya mencuri pandang ke arahnya, mencoba membaca ekspresi apa yang ada di wajahnya. Mendapati saya memandanginya, ia pun tersenyum, “Ano toki boku nayanda yo, sono tochuu ni Chugoku ni kaettekita.” (Saat itu saya merasa bingung, selama itu saya pulang ke China..). Saya pun senang ia kembali, moga-moga untuk seterusnya. “Sou ka…gambatte ne, Shin-san..” (berusalah Shin-san) bisik saya kepadanya.

--------------------------------------------------------

4 bulan sudah berlalu sejak pertama kali saya mengumpulkan draft paper pada Miyazaki-sensei, namun tak juga ada kabar tentang revisi apalagi submission. Saya pun mulai bosan menunggu. Perlahan-lahan muncul prasangka di hati saya, “jangan-jangan ia sengaja mengulur-ulur waktu sampai aku lulus, nanti di-submit lah paper itu tanpa namaku…” setiap kali pikiran itu datang, saya berusaha menepisnya. “Tak mungkin seorang profesor berbuat demikian.”

“Mungkin saja Niji..” kalimat itu membuat saya tersentak. Seorang teman, sesama orang Indonesia yang sedang berusaha memenuhi prasyarat kelulusannya, menunggu paper ke-2 nya untuk diterbitkan dan pada saat itu sedang menulis paper ke-3, angkat bicara. Sore itu, ketika saya menceritakan kegundahan saya padanya, berbagai cerita tak sedap mulai terungkap. Selama 3 tahun kolega saya berada di Miyazaki-lab, selama itulah ia merasa telah ‘dimanfaatkan’ oleh sensei. Ternyata ia tak hanya mengalami kasus yg sama dengan saya, bukan saja sensei telah menahan draft papernya selama lebih dari setahun, bahkan ia juga tak mendapatkan reward yang adil atas international patent dari hasil penelitiannya di tahun pertama. Semula saya tak begitu saja percaya akan perkataannya, namun ketika saya bicara pada mahasiswa doktor lain yang juga dibimbing Miyazaki-sensei, ternyata ia pun berkata serupa. “Berhati-hatilah Niji, semakin kamu penuhi apa yang dia minta, semakin banyak yang dia minta darimu. Jika ia menawarimu untuk melanjutkan ke program Doktor di lab ini, pikirkanlah lagi baik-baik.” pesannya. Saya pun teringat bahwa beberapa bulan sebelumnya, sensei pernah menawarkan program itu ke saya, namun saya belum memberikan jawaban. "Saya pikir-pikir dulu.." jawab saya saat itu.

-------------------------------------------

September2009

“Niji, coba kemari sebentar, ada masalah di lab lantai 3.” teman lab dari Bangladesh memanggil saya lewat intercom, saya pun bergegas menuju ke sana.

Di lantai 3 terdengar bunyi desis yang sangat kuat, terjadi kebocoran gas Nitrogen karena sambungan tubing tak kuat menahan tekanan. “Sudah berapa lama?”

“Tak tahu, terakhir aku kesini 3 jam yang lalu.” Kata teman saya.

Saya mengecek sambungan, gas Nitrogen mengalir dari tabung ke alat-alat eksperimen melalui tubing plastik yang terkoneksi dengan 2 junction melalui sebuah valve dari bahan Teflon. Sambungan ke valve hanya diperkuat dengan kawat yang dibalut dengan Silicon tape. Dengan tekanan tak kurang dari 10 atm, tak heran tubing plastik itu terlepas dari sambungannya. Walaupun Nitrogen cenderung tidak berbahaya, namun tekanan 10 atm dari sebuah pipa berdiameter ½ cm yang menyembur tiba-tiba bisa saja melukai orang yang kebetulan berada di dekatnya. Sungguh instalasi yang tidak memedulikan safety. “Hentikan eksperimenmu sekarang juga. Sample chamber sudah terkontaminasi Oksigen..”

Saya pun bergegas menuju kantor Miyazaki-sensei.

Sensei, kejadian ini sudah bukan pertama kalinya. Sambungan itu tidak aman, tubing plastik itu tidak kuat menahan tekanan, lebih baik kita ganti saja dengan tembaga. Untungtadi tidak ada siapa-siapa di dekat koneksi tubing waktu kebocoran terjadi, tapi lain kali siapa yang bisa jamin?” pinta saya pada sensei yang memandang lurus tanpa ekspresi.

“Siapa yang bertanggung jawab atas tabung Nitrogen?” tanyanya.

“Ikeda-san.” Jawab saya.

Tak lama kemudian Ikeda-san pun dipanggil masuk. Di luar dugaan saya, sensei memarahinya habis-habisan. Ikeda-san yang tak tahu-menahu soal kebocoran itu pun terlihat sangat bingung, sensei bahkan tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan dirinya, saya merasa sangat bersalah padanya. Sensei tak mau tahu. Baginya, Ikeda-san, yang dianggap sebagai penanggungjawab tabung nitrogen telah lalai. Ia pun memerintahkan kami untuk mengganti Teflon valve dan memperkuat sambungan. Saya pun bersikeras, “Sensei, ini tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya soal waktu sampai sambungan ini lepas lagi. Usul saya tetap: kita ganti semua sambungan dengan tubing tembaga.”

Wajah sensei terlihat mulai gusar. Setelah memarahi Ikeda-san, kengototan saya jelas bukan sesuatu yang diharapkannya. “Tubing tembaga mahal. Lebih baik ganti sajalah dengan yang ada dulu, kalau memang nanti terjadi lagi baru kita ganti.” Dan ia pun beranjak pergi.

“Niji, sebenarnya saya hanya bertanggungjawab untuk pembelian gas Nitrogen jika sudah habis.  Terus terang saya tidak terlalu paham soal safety seperti ini..” kata Ikeda. Saya kesal sekali pada sensei,  sekaligus menyesal telah menyeret Ikeda dalam masalah ini. Sungguh saya tak habis pikir bagaimana sensei tak memedulikan masalah safety di lab, bukannya concerned terhadap keselamatan anak -anak bimbingnya, ia malah tidak mengindahkan, dan justru menumpahkan kesalahan pada Ikeda-san yang dianggap bertanggungjawab padahal tidak tahu apa-apa. Bagaimana mungkin hal seserius itu bisa diabaikan begitu saja? Bagi saya itu adalah sinyal kuat bahwa sensei sebenarnya tidak peduli pada siapapun asalkan ia mendapatkan hasil dan data.

Saat itulah saya putuskan, saya tidak ingin lebih lama lagi berada di lab ini. Saya cinta pekerjaan saya, saya cinta riset dan hal itulah yang membuat saya bertahan terhadap kondisi penuh tekanan selama hampir 2 tahun terakhir,  namun saya tidak ingin jika keberadaan saya di tempat ini hanya dianggap sebagai mesin publikasi.

bersambung




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline