Kalau sebelumnya kecaman hukuman mati terdakwa Asabri berasal dari pakar hukum serta guru besar UNAIR dan ICW, kali ini kecaman dilontarkan pakar hukum UI. Dosen UI ini menyorot keras keanehan tuntutan pada Heru Hidayat. Jelas saja satu persatu akademisi memprotes.
Karena pasal yang dikenakan tak sesuai, juga aka nada efek negatif yang dirasakan di masa mendatang, terutama iklim investasi tanah air. Kejaksaan harusnya berhati-hati dalam menerapkan tuntutan, bukannya sekedar pencitraan agar dianggap tegas saja.
Netizen juga mulai membandingkan kasus Asabri dan korupsi Juliari. Meski suara ini kebanyakan dari oposisi, tapi patut dijadikan masukan. Ini lantaran korupsi yang dilakukan Juliari berada di saat negara terdampak pandemi yang mana memang ada peringatan hukuman mati agar tak korupsi.
Namun, nyatanya vonis Juliari hanya penjara selama 12 tahun. Termasuk mantan jaksa Pinangki yang hanya kena vonis 4 tahun karena tuntutan ringan kejaksaan. Hal ini lantas menjadi pertanyaan. Apakah lantaran Heru bukan orang partai atau mantan jaksa lantas ia dituntut sedemikian rupa?
Kecaman hukuman mati dari dosen UI sebelumnya diberitakan salah satu media mainstream. Staf pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan terdapat perbedaan pasal yang dikenakan jaksa terhadap Heru, yakni didakwa Pasal 2 ayat 1.
Namun, dalam tuntutan dikenakan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal dakwaan pada dasarnya merupakan mahkota yang dimiliki jaksa.
"Maka dari itu, dakwaan harus jelas dan cermat seta lengkap. Kekeliruan dalam dakwaan menyebabkan dakwaan batal demi hukum. Lihat Pasal 143 KUHAP. Karena dakwaan adalah panduan bagi jaksa dan hakim dalam memeriksa perkara," kata dia saat dihubungi, Kamis (9/12).
Eva melihat jaksa tidak menyelaraskan dakwaan dengan tuntutan. Sementara tuntutan yang sudah dijatuhkan adalah seumur hidup, maka yang berlaku adalah stelsel pemidanaan absorpsi, di mana pidana kemudian diserap pada waktu sebelumnya.
"Pengulangan tindak pidana atau recidive pada dasarnya adalah keadaan yang memperberat. Makna recidive atau pengulangan, apabila terdakwa sebelumnya telah divonis bersalah dan telah menjalani sebagian atau seluruh pidananya," terangnya.
Namun, lanjut dia, dalam perkara terdakwa Heru Hidayat yang ada bukan pengulangan. Sebagaimana syarat pengulangan yang tertulis dalam Pasal 486-489 KUHP, tetapi bersamaan tindak pidana atau samenloop atau disebut juga concursus.
Tindakan tersebut ancaman pidananya mengacu pada Pasal 65 KUHP, yaitu yang terberat lebih dari 1/3 dari ancaman pidana. Mengacu pada Pasal 2 ayat 1 yang terdapat dalam dakwaan Heru Hidayat, ancaman hukumannya 15 tahun ditambah 1/3 dari total hukuman terberat 15 tahun, yakni 20 tahun.