Hari memang masih terlalu pagi untuk mendengar suara ngeongan mengganggu dari dua kucing yang tak pernah akur itu. Panggil saja mereka nyonya Jingga dan nyonya Putih. Tikus yang menjadi tetangga dekat mereka, pun, sudah tak heran lagi dengan kelakuan harian mereka yang selalu bertengkar. Terkadang, Tikus yang ingin iseng, sengaja melakukan kejahilan agar mereka menghentikan pertarungan yang mengganggu suasana kedamaian lingkungan sekitar. Tapi terkadang Tikus yang mencoba bijaksana, hanya mengingatkan mereka dengan teguran baik-baik. Tapi apalah daya, tubuh kucing lebih besar dan lebih kuat dari Tikus, sehingga Tikus lebih memilih meninggalkan tempat pertarungan itu dengan sia-sia karena ujung-ujungnya kucing-kucing itu mengejarnya hingga lari terbirit-birit.
Seperti hari kemarin, Tikus merasa perlu turun tangan. Minimal untuk mengingatkan kalau apa yang mereka lakukan adalah hal yang mengganggu ketenangan binatang lain. Juga, yang dilakukan dua Kucing itu sudah keterlaluan. Mereka mengganggu istirahat malamnya dengan mengadakan pertarungan memasuki area tempat tinggal Tikus.
"Wahai nyonya-nyonya Kucing yang terhormat. Kalian masih belum lelah juga bertarung? Apa yang kalian perebutkan kali ini? Masih tentang si Persia tetangga sebelah itu? Yakin diantara kalian akan ada yang dipilihnya kalau hobi kalian terus terusan membuat kegaduhan seperti ini? Dan kalau bertengkar, janganlah masuk ke area tempat tinggal kami. Bukankah kalian punya area lain yang lebih luas?" Tikus yang merasa diganggu waktu tidurnya, akhirnya memberanikan diri angkat bicara dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya.
"Kau diam saja Tikus kecil. Ini bukan urusanmu," saut nyonya Jingga merespon kalimat panjang Tikus.
"Bukan begitu nyonya Jingga, tapi suara kencang kalian sangat mengganggu tidur kami. Lagian ini juga wilayah tempat tinggal kami, kalau ingin bertengkar lebih baik mencari tempat lain saja," Tikus masih melanjutkan.
"Kau saja yang pergi darisini. Lagipula orang-orang disini tak ada yang menyukaimu", kali ini nyonya Putih juga tak mau kalah memberi respon.
Mendengar pernyataan kedua Kucing itu, Tikus merasa lebih baik tak usah lagi melanjutkan tegurannya. Dia rasa akan percuma karena keduanya memang sama-sama menjengkelkan dan merasa tak terkalahkan oleh binatang yang ukurannya lebih kecil dari mereka.
Begitulah, bila kedua kucing itu sedang bertengkar, mereka tidak akan peduli dengan keberadaan binatang lain di sekitar yang memang rata-rata ukuran tubuhnya lebih kecil dari mereka. Bahkan, Tikus yang sebetulnya bisa menjadi santapan lezat mereka, tak lagi menarik disaat mereka sedang bertengkar. Mereka lebih memilih menyelesaikan urusan yang wajib diselesaikan, daripada berlarian mengejar Tikus yang belum tentu bisa berhasil mereka tangkap.
"Lebih baik kau pergi saja dari rumah ini. Sejak kehadiranmu, jatah makananku jadi lebih sedikit," ujar nyonya Jingga.
"Kamu saja yang kebanyakan makan. Lihat saja badanmu sekarang, jadi semakin gendut dan tak beraturan", saut si kucing Putih selalu ada jawaban atas kata-kata negatif nyonya Jingga.
"Apa kau bilang? Seharusnya kau malu kemarin telah mencuri persediaan makan siang manusia. Kalau sampai kau coba kesana lagi, bisa dihajar kau nanti", Kucing Jingga juga belum kalah membalas olokan musuhnya.
Konflik demi konflik tak akan selesai dibahas karena ada saja yang sengaja mereka timbulkan. Dari hari kehari pasti ada saja topik baru yang mereka adu tengkarkan. Bukan lagi tentang makanan, atau tempat tinggal, tapi bisa tentang pasangan, kecantikan, dan adu kekuatan.