NAMAKU Senja, ujarmu di perkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan yang menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!
***
SEJAK dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kau habiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kau putar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota, Senja selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kursi rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara.
Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Senja tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan ranjang. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari. Bila kau pulang cepat, di waktu yang sama, kau buru-buru menyelinap keluar dari pintu belakang.
Senja juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumah tangga --atau bahkan para pembantu rumah tangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status penganggurannya). Selayang pandang, Senja memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami.
Kau hanya sering heran, mengapa Senja selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Senja adalah seorang sarjana, Senja adalah laki-laki normal yang haus kehangatan, Senja bukanlah seorang dungu yang setia buta menantikan kau pulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat dan Senja menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menerbangkan kepenatan. Lagi pula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Mentari?
Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Senja hanya memandangimu yang pulas di sampingnya (Oh Mentari, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Senja melampiaskan gairah kepada kesepiannya, kepada yang tiba-tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba- tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini! Kau sangat kejam, Mentari!
***
PAGI itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Senja ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau oke- kan saja. Kau tinggalkan sarapan yang baru kau lahap dua sendok. Terburu-buru kau ambil segelas sirup sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kau pamit. Kau tutup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Senja pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kau panggil ’’Pak Direktur’’ untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkanya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketakberdayaan pimpinan. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu. Kepada mereka kau nyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya.
Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak ujarmu sok bijak. Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu. Ada yang kurang. Kau lirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kau minta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kau sunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja tak kau katakan bahwa kau pulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat. Kau nyalakan mobil, Kau tarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas, Kau akan mengemudi dalam kecepatan tinggi Mobil melaju. Cepat, Kau pasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kau dapati bukti bahwa keadaan genting dapat melecutkan keberanian hingga beberapa kalilipat. Kau bunyikan klakson beberapa kali namun Senja tak kunjung membukakan pagar. Kau pun kesal. Kau turun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kau parkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kau khawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik gerendel pintu depan dengan gerakan malas. Kau banting pintu. Kau gegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasa kau gunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu ... Mengapa ia mengabaikanmu?.
Praaanggggg!!
Kau menoleh. Vas bunga kristal yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulang tahunmu beberapa bulan yang lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kau panggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang.
Butir-butir keringat berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan menjawab panggilan.
Klek!
Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kau jawab. Kau gegas menekuri lemari berkasmu. Ups! matamu berbinar cerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kau cari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu, Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman.
Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari arah kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan, suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki.
Benarkah desahan itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil.
Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kau sadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini.... O kini, kepalamu bergasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora rasa batinnya!
Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kau buka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip. Awalnya kau sipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kau belalakkan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut.
Paaakkkk!
Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri! Senja pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanginya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat.
Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang..., ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa. Senja masih menggigil. Ia seperti remaja yang habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan air mata. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan. Kau lepaskan stiletto-mu. Kau naik ke atas ranjang. Kau peluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kau rapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus saja memanggil-manggil namamu.
Aku di sini, Sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini, kau lepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kau pikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendadak tak peduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah dihadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri...
Gubrraaakkk!!
Tendangan kaki kanan Senja membuatmu terjerengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kau rasakan banyak kunang-kunang mengitari kepala. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kau lihat Senja meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan.... o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu!
Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan deringan ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan: Yang Senja inginkan bukan Mentari, tapi Awan!.
Kau seakan menjerembab nyawamu yang hanya menghitung separuh waktu, tak ubahnya seekor serigala kehausan, kelaparan, Senja menggrogoti tubuhmu dengan tembikar itu, kau diam, diam, dan diam.
Kau merasa profesimu selama ini yang telah mengajarkan kebengisan itu terjadi tanpa kata ampun sedikitpun. Ya, kau telah mengajarkan senja menutup mentari untuk selama-nya, bahkan kau juga mengajak Awan menghias olah sinar indah, cantik nan elokmu di pagi hari dengan gumpalan warna kehitamannya untuk menutupimu, agar terguyur dan tergiling bersama derasnya hujan darah di siang itu.
***
SEKIAN!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H