Lihat ke Halaman Asli

Daniel Setiawan

Content writer and editor.

David Moyes dan Periode Capek Hati Fans United

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395194541754684863

[caption id="attachment_327333" align="aligncenter" width="491" caption="Berada Dalam Bayang-Bayang Kejayaan..."][/caption]

Berada dalam tekanan. Mungkin kalimat itulah yang menggambarkan seperti apa Manchester United sepanjang musim ini ketika harus berlaga di akhir pekan, menjamu lawan-lawannya sebagai klub juara bertahan. Kicauan kekecewaan para fans United di Twitter sudah menjadi rutinitas yang akan mereka lakukan hingga, mungkin, akhir musim nanti. Oleh karena itu sebagai fans United yang aktif di jejaring sosial, sudah sebaiknya anda mempersiapkan kalimat kekecewaan sebaik dan sedramatis mungkin.

Memang tidak ada perubahan berarti dari pola permainan Robin Van Persie dan kawan-kawan ketika mereka tahu bahwa mereka terjerembab ke posisi yang bisa dibilang cukup memalukan untuk klub yang pertengahan tahun lalau menahbiskan diri sebagai raja sepakbola Inggris. Menelan kekalahan sembilan kali dalam satu musim, terperosok ke posisi tujuh, megap-megap di kompetisi Eropa, dan terancam absen ikut kejuaraan eropa musim depan. Anda bisa ditampar bolak-balik oleh Sir Alex jika anda melakukannya sebagai “suksesor” dirinya. David Moyes beruntung tidak mendapatkannya…atau mungkin saja belum.

David Moyes sebenarnya, atau seharusnya, merupakan pelatih berkelas meningat ia kenyang pengalaman melatih di tanah Ratu Elizabeth. Salah satu prestasinya adalah pada tahun 2005 ketika ia membawa Everton mengangkangi Liverpool di papan kelasmen dan bertengger di peringkat 4, sementara si mantan klub tersukses di Inggris tersebut berada satu strip dibawahnya. Beruntung pada saat itu Liverpool menjai juara Liga Champion, dan mereka berhak lolos otomatis. Jarang ada klub medioker yang mampu merusak keharmonisan “big four” pada masa-masa itu.

Pola latihnya di Goodison Park ia bawa ke Carrington dan menerapkannya ke United. Semua orang jelas menunggu perubahan permainan United. Tapi alih-alih membuat si Setan Merah semakin perkasa, Moyes justru meyulap United terlihat seperti Everton dengan pemain yang berbeda. Bayangkan betapa mudahnya United memberi poin cuma-cuma kepada Swansea, WBA, Stoke City, dan klub medioker lainnya pada musim ini.

Konsistensi pemilihan line up pemain juga menjadi perhatian pada era Moyes. Hingga pertengahan musim, bahkan kalau saya liat hingga saat ini, Moyes terus bereksperimen dengan menggonta-ganti starting line up. Jika ia bisa menang dengan Januzaj, pekan berikutnya ia akan memasang Ashley Young. Bad luck nya memang pemain United musim ini banyak tertimpa cedera disaat-saat krusial. Lalu performa yang menurun dari beberapa pungawa utama seperti Jonny Evans, De Gea, dan Robin van Persie.

Beban ekspektasi yang kelewat berat yang harus dipikul Moyes di tahun pertamanya ini. Bagaimana tidak? Ia pindah dengan segala sorak sorai dan di “elu-elu” kan pendukung Setan Merah. Secara geografis, ia dan Sir Alex sama-sama dari Skotlandia. “Ia adalah potongan bahan dari baju yang sama” begitu kira-kira yang ditulis jurnalis Inggris saat ia diumukan menjadi pelatih United. Hal itu merefleksikan betapa “disejajarkan”nya Moyes dengan SAF meskipun secara tidak langsung.

Moyes tidak mampu mengangkat moral pemain sebagaimana Sir Alex menangani United. Banyak pertandingan dimusim ini dimana United harus tertinggal lebih dahulu. Jika dijaman SAF kita masih dibalut rasa optimisme untuk memnangkan pertandingan hingga menit akhir, di era Moyes kita tidak dapat menemukan itu. Saat United teritnggal, pilihannya hanya dua: kalah atau seri. Moyes belum memiliki ‘magis’ itu didalam dirinya.

Sejujurnya saya lelah melihat para fans United berteriak ‘Moyes Out’ di tiap pekan. Namun sebagai fans United, saya juga tidak tahan dengan performa tim yang tidak kunjung membaik. Bisa dibilang, inilah periode "capek hati" saya selama menjadi fans United. Capek hati gara-gara Moyes. Lantas apakah Moyes harus dipertahankan? Jika saya dibulan desember menerima pertanyaan semacam ini,jelas saya langsung menjawab “iya”.

Saat ini pun saya akan menjawab dengan jawaban yang sama,”iya.”

“Iya, tapi sampai akhir musim ini saja."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline