Kadang ada rasa iri yang timbul melihat kemajuan negara luar apalagi perkara pemberdayaan perempuan. Masalah mereka masih ada, dan sangat kompleks, tapi cenderung sepele. Contohnya isu hak seks bebas dan kontrasepsi gratis. Sedangkan di Indonesia, pendidikan saja masih banyak belum bisa diakses kaum hawa apalagi yang tinggal di pedesaan.
Saya kira pada dasarnya perempuan terdidik pasti tak bisa jauh dari jiwa feminis. Namun feminis ini punya banyak cabang yang membuat banyak orang bahkan di negara maju, berpikir dua kali untuk identifikasi sebagai feminis. Cabang feminis yang politisasi seks(revolusi seksual)dan meninggikan profesi tertua perempuan yakni pelacur dan segala yang terkait dengannya seperti legalisasi narkoba dan 'gay agenda' atau menormalisasi budaya LGBT diluar hak-hak dasar saja, sungguh merisaukan. Para TURF(feminis tradisional) dan penganut soft feminism(feminis yang masih integrasi dengan nilai-nilai patriarki yang dipilah), malah diolok-olok feminis lebih frontal.
Ini menjasi racun bagi perkembangan pendidikan perempuan di Indonesia, dimana nilai-nilai feminisme dasar saja masih belum diterapkan dengan benar. Eh, malah bermunculan sampah feminisme yang terlalu memelihara ego negatif wanita dan menyebar seperti virus cari inang. Hak-hak perempuan belum dicurahkan perhatian sebagaimana mestinya sehingga masih banyak perempuan tidak lulus SMA, melahirkan dibawah umur 20 tahun, melahirkan diluar fasilitas kesehatan, dan menikah muda. Hak perempuan untuk hal-hal vital masih minimal apalagi di daerah pelosok Indonesia. Perempuan-perempuan inipun terekspos pada pemikiran membenci pria yang malah makin menjauhkannya kepada cara menyiasati kenyataan objektif dan memupuk gangguan jiwa.
Feminisme telah berubah maknanya akibat budaya pop yang semakin dominan di era digital. Feminisme masuk jadi gaya modern dan bagian dari konsumerisme sebab dipakai sebagai trend. Kekerenan feminis merusak kegentingan isu-isu yang diangkat oleh intisari feminisme untuk nasib ibu pekerja dimanapun.
Upaya-upaya remeh yang diajukan di negara maju seperti mengkritik perihal keseharian seputar mansplaining(lelaki menjelaskan yang sudah jelas pada perempuan), man spread(pria seenaknya makan tempat), locker room talk(lelaki menggosipkan perempuan) dan catcalling(lelaki mensiuli perempuan). Sedangkan Indonesia masih perlu menata hal-hal lebih fundamental mengenai kaidah feminis seperi isu pendidikan perempuan dan kesehatan perempuan. Maka perempuan kerap kena kekerasan rumah tangga akibat kurangnya pendidikan hingga sulit untuk memiliki kesadaran akan otonomi badan sendiri. Meskipun jika melihat maraknya iklan yang menghargai isu-isu perempuan, prinsip kesamarataan gender masih jauh dari kenyataan di banyak tempat termasuk di beberapa wilayah tanah air.
Isu pelik objektifikasi perempuan itu masih menimbulkan disonan kognitif dan reaksi berlebihan sampai sekarang. Perempuan yang menganut paham feminisme wajar sering jadi bahan olok-olok karena tidak jitu mengkaji perkara pelik 'sexual consent' yang bisa jadi kesalahan di kedua belah pihak. Yang umum adalah kasus pria yang lancang melampiaskan amarah melalui kekerasan seksual terhadap perempuan lemah, yang kompleks adalah kasus wanita manipulatif memperalat keadaan melalui menuduh dilecehkan oleh pria inosen. Masih banyak aktivis feminis dinilai kurang pandai menyuarakan opininya secara berwibawa akibat ruwetnya kajian feminisme sebenarnya. Ada perempuan yang terlalu emosional dan kurang bijak ketika melontarkan pendapatnya dan ada juga yang kelewat dingin membuat awareness kurang diserap secara baik oleh masyarakat. Di Indonesia, gender pay gap atau perbedaan gaji antara gender masih belum bisa jadi bahan diskusi masyarakat sebab yang mendasar saja banyak belum kelar. Namun sayangnya rakyat terlalu ingin up to date dan memilih menyuarakan aktivisme anti body shaming padahal isu-isu mendesaknya seperti masih maraknya pernikahan dini belum terselesaikan.
Jadi apa kiat menerapkan pandangan-pandangan feminis dengan lebih efektif?
Cara pertama tentunya menetapkan definisi-definisi akan apa itu perjuangan feminisme di Indonesia. Sebab tiap negara tentu masalahnya kontekstual masyarakatnya.
Gejolak feminis Indonesia sudah ada sejak zaman Kartini, bahkan mungkin lebih lama lagi. Filsuf Perancis perempuan yang sering dikutip yakni Simone De Beauvoir juga bikin buku tentang etika feminis yang masih jadi bahan referensi feminis hingga kini. Penulis-penulis fiksi feminis di Indonesia juga terus menyuarakan opininya melalui karya-karyanya, namun memang mereka belum bisa komprehensif dalam kritisi dampak patriarki khusus di Indonesia sebab susahnya mencari data lokalisasi akibat kurang dana pemerintah untuk urusan pengarsipan mumpuni. Kesan yang muncul malah sering negatif, penulis feminis Indonesia dianggap perempuan yang makan bulat-bulat arus globalisasi, padahal niat mereka tulus. Ini menjadi PR bersama, baik bagi kaum perempuan yang mau tak mau berjiwa feminis jika terdidik dan bagi kaum lelaki yang mau identifikasi sebagai feminis karena mampu see the beauty of it.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H