Saya menonton film Budi Pekerti dalam rangka merayakan hari guru. Bersama banyak teman, kami menyaksikan film yang katanya sempat buat Najwa Shihab menangis ini.
Film diperankan oleh bintang-bintang terkenal, dari Prilly yang memang sering wajahnya wara wiri di beragam konten hiburan, pemeran ibunya Jeng Yah di serial Gadis Kretek hingga aktor tokoh hacker dari film mencuri Raden Saleh.
Film Budi Pekerti bisa dikatakan sebagai film komedi drama, tapi lebih dari itu, film ini menelaah isu gangguan mental(melalui kasus gangguan kecemasan suami pemain utama serta mantan muridnya yang jadi obsesi kuburan)yang pelik serta menelusuri kaidah sangat rentan akan bagaimana taktik mendisiplinkan murid yang modern tapi tidak lembek.
Khas irama film Indonesia, film dipastikan penuh unsur bersahaja dengan menyorot latar belakang kehidupan menengah ke bawah lantaran komunitas ini lebih mendominasi populasi Indonesia. Aktornya yang tentu saja bukan dari lapisan masyarakat demikian, memainkan tokoh yang lucu-lucu ngenes dengan menarik serta otentik. Misalnya co star sang anak laki-laki yang seorang influencer tema kesehatan mental diperlihatkan kontras antara kinerja yang serba tekno dengan latar pemukiman kumuh.
Disayangkan film kental bahasa Jawa ini agak sulit diikuti per dialognya oleh audiens, meskipun penggunaam bahasa ini krusial untuk jalannya plot cerita yakni premis seorang guru BK yang diviralkan warga sekitar dengan kondisi sepintas dikira bercarut kepada orang yang menyerobot antrian. Padahal pemain utama sedang sebut ungkapan bahasa Jawa biasa yang kurang diketahui khalayak ramai.
Situasi semakin panas karena si pemain utama membuat video klarifikasi akan alasan tindak-tanduk yang ia lakukan di pasar. Orang yang menyerobot antrian membuat video balasan bahwasan ia ingin menuntut pemain utama karena pencemaran nama baik.
Stakes are high, sebab seharusnya pemain utama akan naik jabatan sebagai wakil kepala sekolah, dan gaji yang didapat sangat dibutuhkan untuk biaya pengobatan gangguan mental suaminya. Namun kenaikan jabatan terhambat karena isu negatif yang beredar seputar dirinya yang asyik diperbincangkan netizen dan kejadiannya dibesar-besarkan oleh media online yang kebetulan pegawainya dikenali oleh anak perempuannya yang bekerja sebagai penjual baju bekas sembari merintis bandnya.
Cerita berakhir gantung, yang bagi beberapa orang mungkin akan mengecewakan karena tidak ada pesan moral yang dipaparkan secara jelas. Tapi menurut saya cerita dikemas dengan baik sekali, mungkin tujuannya adalah starting a conversation akan area abu-abu seputar budi pekerti dan cara bersikap. Entah ini opini pribadi saya atau memang maksud tim produksi film, namun saya kira kritik terbesar ditujukan pada sikap pemain utama yang kurang pragmatis dalam menghadapi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H