Aku belum nonton materi orisinilnya yang berasal dari entertainmen Korea Selaran. Tapi kukira inti plotnya memang sangat menggugah hati hingga wajar saja rebutan diadaptasi beberapa negara.
Sebuah kritik akan sistem hukum dan sosial kemasyarakatan yang maknanya cukup universal. Apa tah memberi perhatian pada krusialnya permasalahan komunikasi komunitas IQ rendah untuk kualitas hidupnya.
Dalam konteks Indonesia juga bisa saja mengungkit isu kelengkapan sarana bagi napi yang tentu sebuah problema yang perlu ditanggulangi. Dalam ulasan ini, aku hanya akan menganalisa konten remake Indonesianya saja.
Aku senang para kru untuk film ini memastikan menanamkan banyak poin khas Indonesia semisal dialog-dialog mayoritas Islami modern. Adaptasi terasa mulus transisinya dan tidak jadi asal jeplak saja.
Kisahnya mengikuti tokoh Dodo yang diperankan Vino Bastian. Dalam segi akting, Vino Bastian cukup menjiwai tokoh yang pasti sulit untuk dimainkan tanpa terkesan mengolok-olok.
Sebab sebagai orang normal ia harus menggali emosi-emosi simplistis yang kerap dirasakan kaum keterbelakangan mental atau IQ rendah. Tentu ada elemen dramatisasi, tapi untunglah aktingnya tidak mengganggu alur cerita.
Para pemeran pembantu juga harmonis dalam membangun ketegangan cerita. Lelucon yang disajikan contohnya sikap riang dan saling mendukung antara para napi kukategorikan PG 13.
Film yang sarat moral yang tetap menyisipkan nalar kerasnya kehidupan sudah sepantasnya menjadi konsumsi generasi muda masa kini agar pola pikirnya terasah dalam menilai kondisi sosial.
Tokoh Dodo yang bertingkah polos akibat panik akan situasi genting didepannya akhirnya dituduh secara tidak adil oleh pihak keluarga yang berkabung sepeninggal anak perempuannya yang mati mendadak. Kebetulan orang tuanya adalah orang berkuasa maka ada unsur kebutuhan politik bermain dalam tuduhan.
Tokoh Dodo yang akhirnya dijebloskan di penjara hanya memikirkan anaknya saja. Ada beberapa kali upaya bertemu kembali dengan anaknya hingga teman-temannya mencoba untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi namun sayang semuanya sudah kepalang basah.
Aku beberapa kali menahan tangis, selain materi yang memang didesain cermat agar mengobok-obok hati audiensnya, harus dipuji kejelian sutradara merealisasikan kronologis adegan dalam medium visual sebuah situasi teramat pelik yang mengakar dari kesulitan komunikasi.