Aku belum baca bukunya, tapi aku sudah kenal dengan gaung nama penulis pak Fuadi. Nama ini selalu mejeng di tumpukan buku bestseller di berbagai toko buku. Kutebak sih film ini semi autobiografis, dengan bumbu hiperbola fiksi sana-sini.
Aku sudah nonton beberapa wawancara sang penulis yang ternyata alumni Hubungan Internasional juga mirip tokohnya. Tujuan film untuk membangkitkan semangat edukasi sebagai alat menaikkan derajat terasa tidak memaksa audiens untuk menelan pesan moral mentah-mentah. Pola absurd kehidupan nyata, semisal si tokoh utama ternyata salah ditempatkan kerja, momen iman rapuh lalu ditempa makin kuat, serta tidak mendapatkan pujaan hatinya, membuat cerita bergulir segar tanpa mengorbankan buaian mimpi-mimpi yang adalah daya jual produk sebuah film(contohnya, prosedural pertukaran pelajar Kanada yang tentu ribet tidak ditunjukkan film yang targetnya menyemangati memulai).
Aku suka dengan plot twistnya yang mengena, pun perkembangan karakter tokoh utama yang selalu menjadi arketip dinomor duakan ditata dengan cemerlang kukira menjadi daya pikat utama film ini bagi audiens yang dari strukturnya kurasa merupakan cukilan daya tarik novelnya.
Pemilihan fisik kasting tergolong cermat pesan bangga keindahan lokal(aktor pemeran utama juga mampu memikat penonton dengan emfasis kebiasaan-kebiasaan kecil karakter seperti cara memperbaiki letak kacamata dan sebagainya) walaupun sayangnya pembelajaran logat Minang asli serta pembacaan Quran dikatakan belum sempurna. Tapi kekurangan film tertutupi dengan seleksi latar belakang film dari mempertegas nuansa Indonesia lama serta pilihan adegan Kanada yang teliti. Overall, ini adalah film yang kutunggu-tunggu untuk tonton ulang di Netflix.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H